Follow Us :              

Saat Ganjar Berkisah Tentang Pangeran Diponegoro Menampar Muka Seorang Patih

  21 November 2018  |   20:00:00  |   dibaca : 515 
Kategori :
Bagikan :


Saat Ganjar Berkisah Tentang Pangeran Diponegoro Menampar Muka Seorang Patih

21 November 2018 | 20:00:00 | dibaca : 515
Kategori :
Bagikan :

Foto : Handy (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Handy (Humas Jateng)

SURABAYA- Pengarusutamaan kebudayaan Jawa untuk pencegahan korupsi harus terus digerakkan bersama. Sebab kebudayaan harus selalu bergerak dan tidak boleh statis, sehingga hal-hal yang mengarahkan pada kebaikan perlu dibentuk.

Hal itu disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada Kongres Kebudayaan Jawa (KKJ) II dengan tema 'Mengarusutamakan Kebudayaan Jawa Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat' di Surabaya, Rabu (21/11/2018) malam.

Pada pembukaan tersebut, Ganjar mengawali dengan menyampaikan sejumlah agenda kegiatan yang diikutinya sepanjang hari. Salah satunya yakni acara Sertifikasi Penyuluh Antikorupsi di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Provinsi Jawa Tengah pada Rabu (21/11) pagi. “Jadi saya seharian ini mengikuti acara yang menarik semua, sertifikasi penyuluh antikorupsi di Jawa Tengah oleh teman-teman KPK. Ini bagus dan menginspirasi,” terangnya.  

Terkait korupsi, Ganjar kemudian menceritakan peristiwa pada zaman Pangeran Diponegoro yang ada pada sebuah buku yang ditulis sejarawan Peter Carey. Pada buku itu diceritakan tentang salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) adalah isu korupsi.

“Di buku itu, Carey menceritakan tentang kemarahan Pangeran Diponegoro yang menampar muka seorang Patih (Patih Yogyakarta Danureja IV) dengan selop karena tanah kerajaan yang disewakan pada Belanda, itu jumlahnya banyak dan untuk kepentingan sendiri,” katanya.

Cerita itu ungkapnya, mengingatkan kita bahwa korupsi itu sangat merugikan dan harus ditumpas bersama. Sebab itu kebudayaan Jawa harus terus bergerak pada kebaikan untuk turut membentuk karakter seseorang.

Ia juga mencontohkan di suatu daerah, setiap tahunnya ada budaya rakyat memberikan sesuatu pada gubernurnya. “Nah apa ini gratifikasi? Kalau sudah budaya, mboten penak ditolak, jare ora patut. Nah maka sebenarnya kebudayaan juga harus bergerak menuju kebaikan, bukan hanya statis,” terangnya.

Ganjar mengatakan semua pihak harus memikirkan apa kontribusi budaya Jawa dalam pencegahan korupsi. “Kan ya nggak enak kita tiap hari dengar OTT, OTT (Operasi Tangkap Tangan). Maka kita perlu memikirkan apa sanksi sosial masih kita bangun. Nak ngono kui ngisin-isini, apa masih kita pegang dan kita pakai. Nah saya ingin mendiskusikan itu, bagaimana nilai-nilai budaya Jawa untuk mencegah korupsi,” tuturnya.

Kongres yang diikuti oleh tiga provinsi yakni Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini diselenggarakan hingga Jumat (23/11) esok. Masing-masing daerah mengirimkan 100 orang perwakilan dari berbagai kalangan dalam kongres tersebut.
(Handy/Puji/Humas Jateng)

 

Baca Juga: Peran Budaya Jawa Dalam Pencegahan Korupsi


Bagikan :

SURABAYA- Pengarusutamaan kebudayaan Jawa untuk pencegahan korupsi harus terus digerakkan bersama. Sebab kebudayaan harus selalu bergerak dan tidak boleh statis, sehingga hal-hal yang mengarahkan pada kebaikan perlu dibentuk.

Hal itu disampaikan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo pada Kongres Kebudayaan Jawa (KKJ) II dengan tema 'Mengarusutamakan Kebudayaan Jawa Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat' di Surabaya, Rabu (21/11/2018) malam.

Pada pembukaan tersebut, Ganjar mengawali dengan menyampaikan sejumlah agenda kegiatan yang diikutinya sepanjang hari. Salah satunya yakni acara Sertifikasi Penyuluh Antikorupsi di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Provinsi Jawa Tengah pada Rabu (21/11) pagi. “Jadi saya seharian ini mengikuti acara yang menarik semua, sertifikasi penyuluh antikorupsi di Jawa Tengah oleh teman-teman KPK. Ini bagus dan menginspirasi,” terangnya.  

Terkait korupsi, Ganjar kemudian menceritakan peristiwa pada zaman Pangeran Diponegoro yang ada pada sebuah buku yang ditulis sejarawan Peter Carey. Pada buku itu diceritakan tentang salah satu pemicu utama Perang Jawa (1825-1830) adalah isu korupsi.

“Di buku itu, Carey menceritakan tentang kemarahan Pangeran Diponegoro yang menampar muka seorang Patih (Patih Yogyakarta Danureja IV) dengan selop karena tanah kerajaan yang disewakan pada Belanda, itu jumlahnya banyak dan untuk kepentingan sendiri,” katanya.

Cerita itu ungkapnya, mengingatkan kita bahwa korupsi itu sangat merugikan dan harus ditumpas bersama. Sebab itu kebudayaan Jawa harus terus bergerak pada kebaikan untuk turut membentuk karakter seseorang.

Ia juga mencontohkan di suatu daerah, setiap tahunnya ada budaya rakyat memberikan sesuatu pada gubernurnya. “Nah apa ini gratifikasi? Kalau sudah budaya, mboten penak ditolak, jare ora patut. Nah maka sebenarnya kebudayaan juga harus bergerak menuju kebaikan, bukan hanya statis,” terangnya.

Ganjar mengatakan semua pihak harus memikirkan apa kontribusi budaya Jawa dalam pencegahan korupsi. “Kan ya nggak enak kita tiap hari dengar OTT, OTT (Operasi Tangkap Tangan). Maka kita perlu memikirkan apa sanksi sosial masih kita bangun. Nak ngono kui ngisin-isini, apa masih kita pegang dan kita pakai. Nah saya ingin mendiskusikan itu, bagaimana nilai-nilai budaya Jawa untuk mencegah korupsi,” tuturnya.

Kongres yang diikuti oleh tiga provinsi yakni Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini diselenggarakan hingga Jumat (23/11) esok. Masing-masing daerah mengirimkan 100 orang perwakilan dari berbagai kalangan dalam kongres tersebut.
(Handy/Puji/Humas Jateng)

 

Baca Juga: Peran Budaya Jawa Dalam Pencegahan Korupsi


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu