Foto : (Humas Jateng)
Foto : (Humas Jateng)
Surakarta – Berpindahnya kewenangan pengelolaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
perusahaan dari pemerintah kabupaten/ kota ke provinsi berdampak pada belum optimalnya
kinerja pegawai tersebut. Kendalanya antara lain minimnya sarana, prasarana maupun anggaran.
“2017 merupakan masa transisi bagi pegawai pengawas ketenagakerjaan. Namun tugas pegawai
pengawas tidak boleh berhenti walaupun masih banyak keterbatasan. Seperti Kota Magelang
yang masih belum lengkap kursi dan mejanya. Masih diatur bagian aset, tapi sampai sekarang
masih belum selesai,” beber Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah
Dra Wika Bintang MM dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Daerah Pengawasan
Ketenagakerjaan Tahun 2017, di Hotel Alana, Kamis (6/4).
Di samping minimnya sarana dan prasarana, pengawasan perusahaan terkendala anggaran yang
terbatas. Wika mengakui, pada tahun ini memang sudah dianggarkan Rp 1,2 miliar pada APBN
dan hampir Rp 600 juta dari APBD Provinsi Jawa Tengah. Namun, anggaran itu dinilai masih
kurang untuk mengawasi sebanyak 23.990 perusahaan. Karenanya, dia berharap ada
penambahan anggaran.
Sedangkan untuk personel, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah tahun
ini mendapat limpahan PNS pegawai pengawas ketenagakerjaan dari 35 kabupaten/ kota
sebanyak 185 orang. Jumlah tersebut terdiri dari PNS dengan jabatan fungsional umum sebanyak
41 orang dan jabatan fungsional teknis sebanyak 144 orang.
“Pegawai pengawas ketenagakerjaan fungsional ini yang punya kewenangan mengawasi
berlakunya UU (Ketenagakerjaan), mengumpulkan bahan keterangan soal hubungan kerja dan
keadaan perburuhan serta menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain yang diserahkan kepadanya
sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku,” terangnya.
Menyimak berbagai kendala itu, Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP
berpendapat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu melakukan inovasi. Sama dengan
Organisasi Perangkat Daerah yang lain, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga mesti
memberikan pelayanan mudah, murah, dan cepat.
“Ampun kelentu. Birokrasi niku sanes robot. Birokrasi niku duwe kreasi, inovasi. Batasane
pangkat, jabatan. Ning nek angel pripun? Lompat. Wong birokrasi ning Jateng bisa ngomong
karo gubernur kok. Umpama panjenengan ana sing ora sreg, ngomong karo Pak Gubernur,”
kata Ganjar.
Gubernur memberi masukan, untuk keterbatasan personel, di mana hanya ada 144 PNS jabatan
fungsional teknis limpahan dari kabupaten/ kota, bisa disiasati dengan penerapan teknologi
informasi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk sementara, bisa memanfaatkan lapor gub
di website jatengprov.go.id. Kemampuan personel dalam menghandle pengawasan perusahaan,
juga bisa dihitung.
“Nek digawe rata-rata wae, ini kan 23.990 perusahaan. Pegawaine mung 144 (uwong). Coba
saiki dibagi. Ketemune sak pegawai, handle 167 perusahaan. Beban satu pegawai 167
perusahaan, bisa diselesaikan tidak. Maka kita akan cek kapasitas masing-masing. Tentu, kalau
tidak bisa menyelesaikan beban, kita gunakan alat,” tuturnya.
Bila belum menemukan alat yang digunakan, Ganjar menyarankan untuk menggandeng pakar.
Bentuknya mungkin bisa berupa sistem informasi pengaduan.
“Apa alatnya? Misalnya sistem informasi pengaduan. Bentukke kayak apa. Apa dewe bisa
nggawe? Ampun mumet. Undang pakar, simulasi,” terang dia.
Apabila suatu saat sudah memiliki sistem informasi tersebut, lanjutnya, laporan pengaduan yang
masuk bisa dicek, dan dicermati jenis pengaduan yang masuk. Kemudian kasus yang diadukan
diklasifikasikan.
“Mengko dijupuk per ranking kasus. Njenengan ngawasi perusahaan sing kasus terus. Dari 23
ribu sekian, kira-kira perusahaan yang bermasalah berapa persen. Pengawasane njenengan bagi
malih. Maka akan lebih ringan. Jangan takut berinovasi,” pesan orang nomor satu di Jawa
Tengah itu.
Ganjar juga berpesan agar para pengawas mampu berkomunikasi dengan baik, jika menegur
perusahaan yang bermasalah. Menegur tidak perlu dengan nada keras. Di samping itu, mereka
wajib memegang teguh integritas.
“Ora usah galak-galak. Kula ngelingke njenengan (perusahaan). Mangke ndak kenging aturan
niki. Njenengan mangke dihukum. Cara komunikasi dikembangkan. Ndandani tata nilai, ben
pengawase apik,” tandasnya.
Surakarta – Berpindahnya kewenangan pengelolaan pegawai pengawas ketenagakerjaan
perusahaan dari pemerintah kabupaten/ kota ke provinsi berdampak pada belum optimalnya
kinerja pegawai tersebut. Kendalanya antara lain minimnya sarana, prasarana maupun anggaran.
“2017 merupakan masa transisi bagi pegawai pengawas ketenagakerjaan. Namun tugas pegawai
pengawas tidak boleh berhenti walaupun masih banyak keterbatasan. Seperti Kota Magelang
yang masih belum lengkap kursi dan mejanya. Masih diatur bagian aset, tapi sampai sekarang
masih belum selesai,” beber Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah
Dra Wika Bintang MM dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Daerah Pengawasan
Ketenagakerjaan Tahun 2017, di Hotel Alana, Kamis (6/4).
Di samping minimnya sarana dan prasarana, pengawasan perusahaan terkendala anggaran yang
terbatas. Wika mengakui, pada tahun ini memang sudah dianggarkan Rp 1,2 miliar pada APBN
dan hampir Rp 600 juta dari APBD Provinsi Jawa Tengah. Namun, anggaran itu dinilai masih
kurang untuk mengawasi sebanyak 23.990 perusahaan. Karenanya, dia berharap ada
penambahan anggaran.
Sedangkan untuk personel, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah tahun
ini mendapat limpahan PNS pegawai pengawas ketenagakerjaan dari 35 kabupaten/ kota
sebanyak 185 orang. Jumlah tersebut terdiri dari PNS dengan jabatan fungsional umum sebanyak
41 orang dan jabatan fungsional teknis sebanyak 144 orang.
“Pegawai pengawas ketenagakerjaan fungsional ini yang punya kewenangan mengawasi
berlakunya UU (Ketenagakerjaan), mengumpulkan bahan keterangan soal hubungan kerja dan
keadaan perburuhan serta menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain yang diserahkan kepadanya
sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku,” terangnya.
Menyimak berbagai kendala itu, Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP
berpendapat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu melakukan inovasi. Sama dengan
Organisasi Perangkat Daerah yang lain, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga mesti
memberikan pelayanan mudah, murah, dan cepat.
“Ampun kelentu. Birokrasi niku sanes robot. Birokrasi niku duwe kreasi, inovasi. Batasane
pangkat, jabatan. Ning nek angel pripun? Lompat. Wong birokrasi ning Jateng bisa ngomong
karo gubernur kok. Umpama panjenengan ana sing ora sreg, ngomong karo Pak Gubernur,”
kata Ganjar.
Gubernur memberi masukan, untuk keterbatasan personel, di mana hanya ada 144 PNS jabatan
fungsional teknis limpahan dari kabupaten/ kota, bisa disiasati dengan penerapan teknologi
informasi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk sementara, bisa memanfaatkan lapor gub
di website jatengprov.go.id. Kemampuan personel dalam menghandle pengawasan perusahaan,
juga bisa dihitung.
“Nek digawe rata-rata wae, ini kan 23.990 perusahaan. Pegawaine mung 144 (uwong). Coba
saiki dibagi. Ketemune sak pegawai, handle 167 perusahaan. Beban satu pegawai 167
perusahaan, bisa diselesaikan tidak. Maka kita akan cek kapasitas masing-masing. Tentu, kalau
tidak bisa menyelesaikan beban, kita gunakan alat,” tuturnya.
Bila belum menemukan alat yang digunakan, Ganjar menyarankan untuk menggandeng pakar.
Bentuknya mungkin bisa berupa sistem informasi pengaduan.
“Apa alatnya? Misalnya sistem informasi pengaduan. Bentukke kayak apa. Apa dewe bisa
nggawe? Ampun mumet. Undang pakar, simulasi,” terang dia.
Apabila suatu saat sudah memiliki sistem informasi tersebut, lanjutnya, laporan pengaduan yang
masuk bisa dicek, dan dicermati jenis pengaduan yang masuk. Kemudian kasus yang diadukan
diklasifikasikan.
“Mengko dijupuk per ranking kasus. Njenengan ngawasi perusahaan sing kasus terus. Dari 23
ribu sekian, kira-kira perusahaan yang bermasalah berapa persen. Pengawasane njenengan bagi
malih. Maka akan lebih ringan. Jangan takut berinovasi,” pesan orang nomor satu di Jawa
Tengah itu.
Ganjar juga berpesan agar para pengawas mampu berkomunikasi dengan baik, jika menegur
perusahaan yang bermasalah. Menegur tidak perlu dengan nada keras. Di samping itu, mereka
wajib memegang teguh integritas.
“Ora usah galak-galak. Kula ngelingke njenengan (perusahaan). Mangke ndak kenging aturan
niki. Njenengan mangke dihukum. Cara komunikasi dikembangkan. Ndandani tata nilai, ben
pengawase apik,” tandasnya.