Follow Us :              

“Ora Usah Galak-galak”

  06 April 2017  |   09:00:00  |   dibaca : 875 
Kategori :
Bagikan :


“Ora Usah Galak-galak”

06 April 2017 | 09:00:00 | dibaca : 875
Kategori :
Bagikan :

Foto : (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : (Humas Jateng)

Surakarta – Berpindahnya kewenangan pengelolaan pegawai pengawas ketenagakerjaan

perusahaan dari pemerintah kabupaten/ kota ke provinsi berdampak pada belum optimalnya

kinerja pegawai tersebut. Kendalanya antara lain minimnya sarana, prasarana maupun anggaran.

“2017 merupakan masa transisi bagi pegawai pengawas ketenagakerjaan. Namun tugas pegawai

pengawas tidak boleh berhenti walaupun masih banyak keterbatasan. Seperti Kota Magelang

yang masih belum lengkap kursi dan mejanya. Masih diatur bagian aset, tapi sampai sekarang

masih belum selesai,” beber Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah

Dra Wika Bintang MM dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Daerah Pengawasan

Ketenagakerjaan Tahun 2017, di Hotel Alana, Kamis (6/4).

Di samping minimnya sarana dan prasarana, pengawasan perusahaan terkendala anggaran yang

terbatas. Wika mengakui, pada tahun ini memang sudah dianggarkan Rp 1,2 miliar pada APBN

dan hampir Rp 600 juta dari APBD Provinsi Jawa Tengah. Namun, anggaran itu dinilai masih

kurang untuk mengawasi sebanyak 23.990 perusahaan. Karenanya, dia berharap ada

penambahan anggaran.

Sedangkan untuk personel, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah tahun

ini mendapat limpahan PNS pegawai pengawas ketenagakerjaan dari 35 kabupaten/ kota

sebanyak 185 orang. Jumlah tersebut terdiri dari PNS dengan jabatan fungsional umum sebanyak

41 orang dan jabatan fungsional teknis sebanyak 144 orang.

“Pegawai pengawas ketenagakerjaan fungsional ini yang punya kewenangan mengawasi

berlakunya UU (Ketenagakerjaan), mengumpulkan bahan keterangan soal hubungan kerja dan

keadaan perburuhan serta menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain yang diserahkan kepadanya

sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku,” terangnya.

Menyimak berbagai kendala itu, Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP

berpendapat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu melakukan inovasi. Sama dengan

Organisasi Perangkat Daerah yang lain, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga mesti

memberikan pelayanan mudah, murah, dan cepat.

“Ampun kelentu. Birokrasi niku sanes robot. Birokrasi niku duwe kreasi, inovasi. Batasane

pangkat, jabatan. Ning nek angel pripun? Lompat. Wong birokrasi ning Jateng bisa ngomong

karo gubernur kok. Umpama panjenengan ana sing ora sreg, ngomong karo Pak Gubernur,”

kata Ganjar.

Gubernur memberi masukan, untuk keterbatasan personel, di mana hanya ada 144 PNS jabatan

fungsional teknis limpahan dari kabupaten/ kota, bisa disiasati dengan penerapan teknologi

informasi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk sementara, bisa memanfaatkan lapor gub

di website jatengprov.go.id. Kemampuan personel dalam menghandle pengawasan perusahaan,

juga bisa dihitung.

“Nek digawe rata-rata wae, ini kan 23.990 perusahaan. Pegawaine mung 144 (uwong). Coba

saiki dibagi. Ketemune sak pegawai, handle 167 perusahaan. Beban satu pegawai 167

perusahaan, bisa diselesaikan tidak. Maka kita akan cek kapasitas masing-masing. Tentu, kalau

tidak bisa menyelesaikan beban, kita gunakan alat,” tuturnya.

Bila belum menemukan alat yang digunakan, Ganjar menyarankan untuk menggandeng pakar.

Bentuknya mungkin bisa berupa sistem informasi pengaduan.

“Apa alatnya? Misalnya sistem informasi pengaduan. Bentukke kayak apa. Apa dewe bisa

nggawe? Ampun mumet. Undang pakar, simulasi,” terang dia.

Apabila suatu saat sudah memiliki sistem informasi tersebut, lanjutnya, laporan pengaduan yang

masuk bisa dicek, dan dicermati jenis pengaduan yang masuk. Kemudian kasus yang diadukan

diklasifikasikan.

“Mengko dijupuk per ranking kasus. Njenengan ngawasi perusahaan sing kasus terus. Dari 23

ribu sekian, kira-kira perusahaan yang bermasalah berapa persen. Pengawasane njenengan bagi

malih. Maka akan lebih ringan. Jangan takut berinovasi,” pesan orang nomor satu di Jawa

Tengah itu.

Ganjar juga berpesan agar para pengawas mampu berkomunikasi dengan baik, jika menegur

perusahaan yang bermasalah. Menegur tidak perlu dengan nada keras. Di samping itu, mereka

wajib memegang teguh integritas.

“Ora usah galak-galak. Kula ngelingke njenengan (perusahaan). Mangke ndak kenging aturan

niki. Njenengan mangke dihukum. Cara komunikasi dikembangkan. Ndandani tata nilai, ben

pengawase apik,” tandasnya.


Bagikan :

Surakarta – Berpindahnya kewenangan pengelolaan pegawai pengawas ketenagakerjaan

perusahaan dari pemerintah kabupaten/ kota ke provinsi berdampak pada belum optimalnya

kinerja pegawai tersebut. Kendalanya antara lain minimnya sarana, prasarana maupun anggaran.

“2017 merupakan masa transisi bagi pegawai pengawas ketenagakerjaan. Namun tugas pegawai

pengawas tidak boleh berhenti walaupun masih banyak keterbatasan. Seperti Kota Magelang

yang masih belum lengkap kursi dan mejanya. Masih diatur bagian aset, tapi sampai sekarang

masih belum selesai,” beber Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah

Dra Wika Bintang MM dalam Pembukaan Rapat Koordinasi Daerah Pengawasan

Ketenagakerjaan Tahun 2017, di Hotel Alana, Kamis (6/4).

Di samping minimnya sarana dan prasarana, pengawasan perusahaan terkendala anggaran yang

terbatas. Wika mengakui, pada tahun ini memang sudah dianggarkan Rp 1,2 miliar pada APBN

dan hampir Rp 600 juta dari APBD Provinsi Jawa Tengah. Namun, anggaran itu dinilai masih

kurang untuk mengawasi sebanyak 23.990 perusahaan. Karenanya, dia berharap ada

penambahan anggaran.

Sedangkan untuk personel, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah tahun

ini mendapat limpahan PNS pegawai pengawas ketenagakerjaan dari 35 kabupaten/ kota

sebanyak 185 orang. Jumlah tersebut terdiri dari PNS dengan jabatan fungsional umum sebanyak

41 orang dan jabatan fungsional teknis sebanyak 144 orang.

“Pegawai pengawas ketenagakerjaan fungsional ini yang punya kewenangan mengawasi

berlakunya UU (Ketenagakerjaan), mengumpulkan bahan keterangan soal hubungan kerja dan

keadaan perburuhan serta menjalankan pekerjaan-pekerjaan lain yang diserahkan kepadanya

sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku,” terangnya.

Menyimak berbagai kendala itu, Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP

berpendapat, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu melakukan inovasi. Sama dengan

Organisasi Perangkat Daerah yang lain, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga mesti

memberikan pelayanan mudah, murah, dan cepat.

“Ampun kelentu. Birokrasi niku sanes robot. Birokrasi niku duwe kreasi, inovasi. Batasane

pangkat, jabatan. Ning nek angel pripun? Lompat. Wong birokrasi ning Jateng bisa ngomong

karo gubernur kok. Umpama panjenengan ana sing ora sreg, ngomong karo Pak Gubernur,”

kata Ganjar.

Gubernur memberi masukan, untuk keterbatasan personel, di mana hanya ada 144 PNS jabatan

fungsional teknis limpahan dari kabupaten/ kota, bisa disiasati dengan penerapan teknologi

informasi. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, untuk sementara, bisa memanfaatkan lapor gub

di website jatengprov.go.id. Kemampuan personel dalam menghandle pengawasan perusahaan,

juga bisa dihitung.

“Nek digawe rata-rata wae, ini kan 23.990 perusahaan. Pegawaine mung 144 (uwong). Coba

saiki dibagi. Ketemune sak pegawai, handle 167 perusahaan. Beban satu pegawai 167

perusahaan, bisa diselesaikan tidak. Maka kita akan cek kapasitas masing-masing. Tentu, kalau

tidak bisa menyelesaikan beban, kita gunakan alat,” tuturnya.

Bila belum menemukan alat yang digunakan, Ganjar menyarankan untuk menggandeng pakar.

Bentuknya mungkin bisa berupa sistem informasi pengaduan.

“Apa alatnya? Misalnya sistem informasi pengaduan. Bentukke kayak apa. Apa dewe bisa

nggawe? Ampun mumet. Undang pakar, simulasi,” terang dia.

Apabila suatu saat sudah memiliki sistem informasi tersebut, lanjutnya, laporan pengaduan yang

masuk bisa dicek, dan dicermati jenis pengaduan yang masuk. Kemudian kasus yang diadukan

diklasifikasikan.

“Mengko dijupuk per ranking kasus. Njenengan ngawasi perusahaan sing kasus terus. Dari 23

ribu sekian, kira-kira perusahaan yang bermasalah berapa persen. Pengawasane njenengan bagi

malih. Maka akan lebih ringan. Jangan takut berinovasi,” pesan orang nomor satu di Jawa

Tengah itu.

Ganjar juga berpesan agar para pengawas mampu berkomunikasi dengan baik, jika menegur

perusahaan yang bermasalah. Menegur tidak perlu dengan nada keras. Di samping itu, mereka

wajib memegang teguh integritas.

“Ora usah galak-galak. Kula ngelingke njenengan (perusahaan). Mangke ndak kenging aturan

niki. Njenengan mangke dihukum. Cara komunikasi dikembangkan. Ndandani tata nilai, ben

pengawase apik,” tandasnya.


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu