Follow Us :              

Geluti Profesi Juru Bahasa Isyarat, Begini Kisah Suka Duka Intan

  27 April 2019  |   08:00:00  |   dibaca : 4042 
Kategori :
Bagikan :


Geluti Profesi Juru Bahasa Isyarat, Begini Kisah Suka Duka Intan

27 April 2019 | 08:00:00 | dibaca : 4042
Kategori :
Bagikan :

Foto : Ebron (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Ebron (Humas Jateng)

BREBES - Empat tahun silam, S.M Dianita Intan Permata Sari yang masih berstatus mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta iseng melakukan liputan di hari bebas kendaraan alias Car Free Day (CFD). Ia hendak  mengangkat cerita aktivitas warga Ibu Kota yang sekadar berjalan-jalan, berolahraga hingga berjualan di pengujung pekan pagi itu.

Namun tak disangka, perempuan berusia 25 tahun ini justru tertarik pada sebuah stand dikerumuni orang-orang yang hanya diam membisu. Keramaian stand dari Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) itu terlihat hanya mengobrol dengan menggunakan dua tangan dan gerakan mulut. 

"Waktu itu tahun 2015 iseng ingin liputan random. Sampailah saya melihat teman-teman Tuli sedang mengenalkan Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo kepada pengunjung CFD. Dari situ saya mulai terpikir, 'Oh iya ya, ternyata teman-teman Tuli ketika mengakses informasi sering kali miskomunikasi,'" cerita pemilik zodiak Cancer kelahiran Brebes, 2 Juli 1994 silam ini.

Dua tahun berselang, kesibukan anak kelima dari pasangan Sumego-Sri Hartati yang akrab disapa Intan ini sudah mulai longgar. Di benaknya kembali terbesit untuk mempelajari bahasa isyarat bagi penyandang Tuli tersebut. 

Ia pun kembali mendatangi CFD selama satu bulan berturut-turut dengan harapan bisa bertemu anggota PLJ yang sekarang pusat layanannya bernama Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO). Selain itu, dirinya sudah menghubungi PLJ melalui pesan instan whatsapp (WA) agar bisa bergabung menjadi sukarelawan juru bahasa isyarat. Namun sayang, selama dua minggu lamanya pesannya tidak berbalas. Keberadaan PLJ di ajang CFD juga nihil.

"Tapi ternyata (akhirnya) WA saya dibalas. Padahal selama sebulan saya cari mereka dari ujung ke ujung sepanjang jalan kawasan CFD. Akhirnya saya bilang ke diri sendiri, 'oke, mungkin ini bukan jodohnya ke teman-teman bisu tuli. Kalau misalkan CFD Minggu besoknya lagi saya enggak ketemu, oke saya menyerah,'" kenangnya hampir putus asa.

Menurut dia, berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat Indonesia hampir mirip dengan proses menerjemahkan bahasa Indonesia ke Inggris. Hanya saja, konsepnya berbeda dengan Bahasa Indonesia menggunakan unsur kalimat Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), Keterangan (K), dan Pelengkap (P). Ataupun huruf awalan dan akhiran seperti 'me-, - nya.'

Menurut warga Jalan Malahayu Raya No 57, Kaligangsa Wetan, Brebes ini, jumlah sumber daya manusia (SDM) juru bahasa isyarat di Indonesia sangat sedikit dibandingkan kebutuhannya. Apalagi mengingat proses menerjemahkan bahasa isyarat cukup membuat pikiran menjadi cepat lelah. Sehingga juru bahasa isyarat secara psikologis hanya memiliki fokus selama 30 menit. 

"Ketika badan bergerak, otak mikir, lama kelamaan kalau lebih dari 30 menit bisa bikin ngos-ngosan. Padahal ada waktunya kita butuh istirahat, butuh ke kamar mandi dan lain-lain. Maka sebaiknya ada tandem juru bahasa isyarat lainnya agar bisa bergantian. Jadi, kendala menerjemahkan itu sebenarnya tidak ada masalah, yang jadi masalah hanyalah jumlah SDM juru bahasa isyarat itu sendiri," paparnya.

Nah, baru-baru ini Intan ikut berpartisipasi sebagai juru bahasa isyarat dalam rangkaian Musyawarah Perencanaan Pengembangan Wilayah (Musrenbangwil) di sejumlah eks keresidenan di Provinsi Jawa Tengah. Sebab, peserta Musrenbangwil bukan hanya datang dari pejabat pusat dan daerah, DPD RI, DPRD Provinsi, akademisi, LSM, partai politik, tokoh masyarakat, tetapi juga perwakilan anak dan penyandang disabilitas.

Ia yang sempat bertugas di Musrenbangwil di Batang dan Magelang ini pun mengapresiasi langkah Pemprov Jateng untuk menghadirkan juru bahasa isyarat Indonesia. Karena tidak semua pemerintahan daerah memiliki kesadaran untuk menyediakan akses juru bahasa isyarat maupun mengundang masyarakat Tuli sebagai peserta Musrenbang. Apalagi selama ini bahasa isyarat Indonesia tidak diterapkan di sekolah luar biasa dan belum diakui pemerintah Indonesia. 

"Harapan saya di tiap kabupaten/kota di Jateng itu ada dua sampai tiga juru bahasa isyarat. Jadi ketika juru bahasa isyaratnya tersedia, pasti pola pikirnya warga Tuli juga lebih maju. Karena yang mengajarkan bahasa isyarat kepada Juru Bahasa Isyarat (JBI) ialah Guru Tuli. Sehingga mampu menyerap lapangan kerja tersendiri untuk Disabilitas Tuli. Karena hubungan Tuli dan JBI seperti rantai makanan. SDM Tuli akan meningkat jika tersedia JBI dan sebaliknya JBI juga ada jika memiliki pemikiran maju," pungkasnya.

 

Baca juga : Bahasa Isyarat Iqbal Bikin Ganjar Tersipu


Bagikan :

BREBES - Empat tahun silam, S.M Dianita Intan Permata Sari yang masih berstatus mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta iseng melakukan liputan di hari bebas kendaraan alias Car Free Day (CFD). Ia hendak  mengangkat cerita aktivitas warga Ibu Kota yang sekadar berjalan-jalan, berolahraga hingga berjualan di pengujung pekan pagi itu.

Namun tak disangka, perempuan berusia 25 tahun ini justru tertarik pada sebuah stand dikerumuni orang-orang yang hanya diam membisu. Keramaian stand dari Pusat Layanan Juru Bahasa Isyarat (PLJ) itu terlihat hanya mengobrol dengan menggunakan dua tangan dan gerakan mulut. 

"Waktu itu tahun 2015 iseng ingin liputan random. Sampailah saya melihat teman-teman Tuli sedang mengenalkan Bahasa Isyarat Indonesia atau Bisindo kepada pengunjung CFD. Dari situ saya mulai terpikir, 'Oh iya ya, ternyata teman-teman Tuli ketika mengakses informasi sering kali miskomunikasi,'" cerita pemilik zodiak Cancer kelahiran Brebes, 2 Juli 1994 silam ini.

Dua tahun berselang, kesibukan anak kelima dari pasangan Sumego-Sri Hartati yang akrab disapa Intan ini sudah mulai longgar. Di benaknya kembali terbesit untuk mempelajari bahasa isyarat bagi penyandang Tuli tersebut. 

Ia pun kembali mendatangi CFD selama satu bulan berturut-turut dengan harapan bisa bertemu anggota PLJ yang sekarang pusat layanannya bernama Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (PUSBISINDO). Selain itu, dirinya sudah menghubungi PLJ melalui pesan instan whatsapp (WA) agar bisa bergabung menjadi sukarelawan juru bahasa isyarat. Namun sayang, selama dua minggu lamanya pesannya tidak berbalas. Keberadaan PLJ di ajang CFD juga nihil.

"Tapi ternyata (akhirnya) WA saya dibalas. Padahal selama sebulan saya cari mereka dari ujung ke ujung sepanjang jalan kawasan CFD. Akhirnya saya bilang ke diri sendiri, 'oke, mungkin ini bukan jodohnya ke teman-teman bisu tuli. Kalau misalkan CFD Minggu besoknya lagi saya enggak ketemu, oke saya menyerah,'" kenangnya hampir putus asa.

Menurut dia, berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat Indonesia hampir mirip dengan proses menerjemahkan bahasa Indonesia ke Inggris. Hanya saja, konsepnya berbeda dengan Bahasa Indonesia menggunakan unsur kalimat Subjek (S), Predikat (P), Objek (O), Keterangan (K), dan Pelengkap (P). Ataupun huruf awalan dan akhiran seperti 'me-, - nya.'

Menurut warga Jalan Malahayu Raya No 57, Kaligangsa Wetan, Brebes ini, jumlah sumber daya manusia (SDM) juru bahasa isyarat di Indonesia sangat sedikit dibandingkan kebutuhannya. Apalagi mengingat proses menerjemahkan bahasa isyarat cukup membuat pikiran menjadi cepat lelah. Sehingga juru bahasa isyarat secara psikologis hanya memiliki fokus selama 30 menit. 

"Ketika badan bergerak, otak mikir, lama kelamaan kalau lebih dari 30 menit bisa bikin ngos-ngosan. Padahal ada waktunya kita butuh istirahat, butuh ke kamar mandi dan lain-lain. Maka sebaiknya ada tandem juru bahasa isyarat lainnya agar bisa bergantian. Jadi, kendala menerjemahkan itu sebenarnya tidak ada masalah, yang jadi masalah hanyalah jumlah SDM juru bahasa isyarat itu sendiri," paparnya.

Nah, baru-baru ini Intan ikut berpartisipasi sebagai juru bahasa isyarat dalam rangkaian Musyawarah Perencanaan Pengembangan Wilayah (Musrenbangwil) di sejumlah eks keresidenan di Provinsi Jawa Tengah. Sebab, peserta Musrenbangwil bukan hanya datang dari pejabat pusat dan daerah, DPD RI, DPRD Provinsi, akademisi, LSM, partai politik, tokoh masyarakat, tetapi juga perwakilan anak dan penyandang disabilitas.

Ia yang sempat bertugas di Musrenbangwil di Batang dan Magelang ini pun mengapresiasi langkah Pemprov Jateng untuk menghadirkan juru bahasa isyarat Indonesia. Karena tidak semua pemerintahan daerah memiliki kesadaran untuk menyediakan akses juru bahasa isyarat maupun mengundang masyarakat Tuli sebagai peserta Musrenbang. Apalagi selama ini bahasa isyarat Indonesia tidak diterapkan di sekolah luar biasa dan belum diakui pemerintah Indonesia. 

"Harapan saya di tiap kabupaten/kota di Jateng itu ada dua sampai tiga juru bahasa isyarat. Jadi ketika juru bahasa isyaratnya tersedia, pasti pola pikirnya warga Tuli juga lebih maju. Karena yang mengajarkan bahasa isyarat kepada Juru Bahasa Isyarat (JBI) ialah Guru Tuli. Sehingga mampu menyerap lapangan kerja tersendiri untuk Disabilitas Tuli. Karena hubungan Tuli dan JBI seperti rantai makanan. SDM Tuli akan meningkat jika tersedia JBI dan sebaliknya JBI juga ada jika memiliki pemikiran maju," pungkasnya.

 

Baca juga : Bahasa Isyarat Iqbal Bikin Ganjar Tersipu


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu