Follow Us :              

Sambutan HUT-74 RI Ceritakan Pesan Persatuan yang Nyata

  17 August 2019  |   07:00:00  |   dibaca : 968 
Kategori :
Bagikan :


Sambutan HUT-74 RI Ceritakan Pesan Persatuan yang Nyata

17 August 2019 | 07:00:00 | dibaca : 968
Kategori :
Bagikan :

Foto : Ebron (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Ebron (Humas Jateng)

SEMARANG – Perilaku bangsa Indonesia yang sekarang cenderung mudah mencaci, mencerca, dan bahkan ada yang nekad ingin mengganti Pancasila, menjadi perenungan pada peringatan HUT ke-74 Republik Indonesia, Sabtu (17/8). Semestinya, setelah masa perjuangan kemerdekaan, tidak ada lagi yang membedakan suku, agama ataupun ras. Sebab, semua sama di mata negara.

Itulah sepenggal isi sambutan Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP pada peringatan HUT ke-74 Republik Indonesia Tingkat Provinsi Jawa Tengah, yang dibacakan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MP, di halaman Kantor Gubernur pada Upacara Peringatan HUT ke-74 RI. Dalam sambutan tersebut, dengan jelas diceritakan secara gamblang, bagaimana para founding fathers memberi contoh persatuan lewat laku dan tidak hanya digembar-gemborkan.

“Siapa yang mempermasalahkan Agustinus Adisucipto sebagai pahlawan? Apakah karena beliau seorang Katolik, lantas yang dari Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Kong Hu Chu menggerutu? Kemudian Albertus Soegijapranata. Beliau merupakan uskup pribumi perta di Indonesia. Bahkan karena nasionalismenya keras, beliau tidak henti-hentinya mengagungkan semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia, dan ungkapan itu terus berdengung hingga kini,” katanya

Sekda meneruskan, adapula pahlawan dari Banyumas beragama Budha, Letjen Gatot Subroto. Tidak kalah penting perjuangannya juga dari etnis Tionghoa. Ada Yap Tjwan Bing, lahir  pada 31 Oktober 1910 di Solo yang menjadi satu-satunya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Yap Tjwan Bing juga hadir dalam pengesahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 18 Agustus 1945. Terdapat pula tokoh Liem Koen Hian yang menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik USaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bahkan Liem Koen Hian merupakan salah satu inspirator Presiden Soekarno ketika pidato di majelis BPUPKI tentang berdirinya agama yang tanpa berazaskan ras dan agama. Masyarakat Indonesia juga sudah semestinya berterima kasih kepada tokoh keturunan Arab, Faradj bin Said bin Awak Martak yang berani menyediakan rumahnya di Pegangsaan Timur No. 56 sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan RI.

"Lantas siapa yang mempersalahkan kepahlawanannya I Gusti Ngurah Rai, Untung Suropati, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari karena agamanya? Bibit jiwa kita adalah bibit tepo sliro, bibit andarbeni, bibit paseduluran. Pancasila sebagai dasar Republik adalah harga mati. Tidak bisa ditawar dan harus kita tanam sedalam-dalamnya di Bumi Pertiwi. Pancasila inilah sebagai induk semangnya negara ini, yang di dalamnya bersemayam ajaran-ajaran agama Hindu, BUdha, Islam, Katolik, Kong Hu Chu dan Kristen. Yang didalamnya bersemayam spirit-spirit berazaskan kebudayaan Nusantara," tutur dia

Sistem pemerintahan memang pernah berganti, lanjutnya. Namun, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali berdiri tegak sebagai negara kesatuan. Sampai kapan? Bung Karno pernah mengungkapkan "Di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia yang kekal dan abadi." Apabila lima dasar harus diperas menjadi satu saja, maka Bung Karno mengatakan, satu itu adalah gotong royong. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Tekad kebersamaan, senasib sepenanggungan inilah yang harus terus diemban bangsa Indonesia, untuk menghadapi zaman.

 

Baca juga : Sebagai Perekat Kebinekaan, Pancasila Mesti Tumbuhkan Optimisme


Bagikan :

SEMARANG – Perilaku bangsa Indonesia yang sekarang cenderung mudah mencaci, mencerca, dan bahkan ada yang nekad ingin mengganti Pancasila, menjadi perenungan pada peringatan HUT ke-74 Republik Indonesia, Sabtu (17/8). Semestinya, setelah masa perjuangan kemerdekaan, tidak ada lagi yang membedakan suku, agama ataupun ras. Sebab, semua sama di mata negara.

Itulah sepenggal isi sambutan Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP pada peringatan HUT ke-74 Republik Indonesia Tingkat Provinsi Jawa Tengah, yang dibacakan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Tengah Dr Ir Sri Puryono KS MP, di halaman Kantor Gubernur pada Upacara Peringatan HUT ke-74 RI. Dalam sambutan tersebut, dengan jelas diceritakan secara gamblang, bagaimana para founding fathers memberi contoh persatuan lewat laku dan tidak hanya digembar-gemborkan.

“Siapa yang mempermasalahkan Agustinus Adisucipto sebagai pahlawan? Apakah karena beliau seorang Katolik, lantas yang dari Hindu, Budha, Islam, Kristen dan Kong Hu Chu menggerutu? Kemudian Albertus Soegijapranata. Beliau merupakan uskup pribumi perta di Indonesia. Bahkan karena nasionalismenya keras, beliau tidak henti-hentinya mengagungkan semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia, dan ungkapan itu terus berdengung hingga kini,” katanya

Sekda meneruskan, adapula pahlawan dari Banyumas beragama Budha, Letjen Gatot Subroto. Tidak kalah penting perjuangannya juga dari etnis Tionghoa. Ada Yap Tjwan Bing, lahir  pada 31 Oktober 1910 di Solo yang menjadi satu-satunya anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Yap Tjwan Bing juga hadir dalam pengesahan UUD 1945 dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada 18 Agustus 1945. Terdapat pula tokoh Liem Koen Hian yang menjadi salah satu anggota Badan Penyelidik USaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Bahkan Liem Koen Hian merupakan salah satu inspirator Presiden Soekarno ketika pidato di majelis BPUPKI tentang berdirinya agama yang tanpa berazaskan ras dan agama. Masyarakat Indonesia juga sudah semestinya berterima kasih kepada tokoh keturunan Arab, Faradj bin Said bin Awak Martak yang berani menyediakan rumahnya di Pegangsaan Timur No. 56 sebagai lokasi proklamasi kemerdekaan RI.

"Lantas siapa yang mempersalahkan kepahlawanannya I Gusti Ngurah Rai, Untung Suropati, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari karena agamanya? Bibit jiwa kita adalah bibit tepo sliro, bibit andarbeni, bibit paseduluran. Pancasila sebagai dasar Republik adalah harga mati. Tidak bisa ditawar dan harus kita tanam sedalam-dalamnya di Bumi Pertiwi. Pancasila inilah sebagai induk semangnya negara ini, yang di dalamnya bersemayam ajaran-ajaran agama Hindu, BUdha, Islam, Katolik, Kong Hu Chu dan Kristen. Yang didalamnya bersemayam spirit-spirit berazaskan kebudayaan Nusantara," tutur dia

Sistem pemerintahan memang pernah berganti, lanjutnya. Namun, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali berdiri tegak sebagai negara kesatuan. Sampai kapan? Bung Karno pernah mengungkapkan "Di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia yang kekal dan abadi." Apabila lima dasar harus diperas menjadi satu saja, maka Bung Karno mengatakan, satu itu adalah gotong royong. Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Tekad kebersamaan, senasib sepenanggungan inilah yang harus terus diemban bangsa Indonesia, untuk menghadapi zaman.

 

Baca juga : Sebagai Perekat Kebinekaan, Pancasila Mesti Tumbuhkan Optimisme


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu