Follow Us :              

Sulap Eceng Gondok Jadi Kerajinan, Berdayakan Ibu Rumah Tangga, Pemuda dan Kaum Difabel

  22 February 2019  |   10:30:00  |   dibaca : 25821 
Kategori :
Bagikan :


Sulap Eceng Gondok Jadi Kerajinan, Berdayakan Ibu Rumah Tangga, Pemuda dan Kaum Difabel

22 February 2019 | 10:30:00 | dibaca : 25821
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

SEMARANG - Satu persatu anyaman dari eceng gondok beragam bentuk ditata sedemikan rupa. Dari bujur sangkar, piramida besar, piramida kecil dijadikan satu menggunakan lem. Lalu, jadilah miniatur Candi Gedongsongo.

Untuk fisnishing, agar mengkilap dan tahan lama, dikuas dengan larutan insektisida maupun fungisida. Dengan zat-zat tersebut meresap ke dalam subtrat eceng gondok, membuat material tersebut tidak bisa ditumbuhi lagi oleh jamur maupun diserang hama serangga besar maupun berukuran mikroskopik.

Tak hanya miniatur Candi Gedongsongo. Ada kerajinan dari eceng gondok yang dibuat oleh Slamet Tri Amanto, 44, warga RT 4 RW 9 Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Ada sofa, lokomotif kereta api kuno, tempat tisu, meja, kursi, rak buku, keranjang, tas, miniatur harley davidson, mobil-mobilan, topi, sandal, tempat sampah, tudung saji, dan tank.

Suami dari Diah Eko Sari, 41, dan bapak dari Hafidzah Isnaini, 18, dan Haura Tria Safiya, 10, itu menuturkan perjalanannya membuat beragam kerajinan dari eceng gondok yang sudah dia kirim hingga Malaysia, Singapura, dan Dubai. Harga per kerjaninan yang dijualnya, berkisar antara Rp200 ribu hingga jutaan rupiah bergantung ukuran dan kerumitan pembuatan.

Dia mengisahkan awal mula dirinya menekuni kerajinan berbahan baku eceng gondok. Di kawasan sekitar Rawa Pening, setiap hari ada sekitar 2.000-an petani yang memetik dan menjual Eceng Gondok ke pengepul-pengepul dengan harga Rp12 ribuan per ikat besar untuk eceng gondok basah. Eceng gondok itu oleh para pengepul dikeringkan dan dijual kembali ke Solo dan Yogyakarta.

Di dua kota itu, eceng gondok kering dibuat beragam kerajinan anyaman. Lho, mengapa bukan warga sekitar Rawa Pening yang membuat? Kalimat itulah yang membuat Slamet prihatin dan memutuskan pulang kampung dari merantau di Jakarta pada 2003 silam dengan menumpang mobil bok bersama istri dan anaknya.

Bermodalkan uang Rp60 ribu, Slamet mulai membuat kerajinan eceng gondok. Uang itu dia belikan gunting, cutter dan lem usai sebelumnya ikut program padat karya. Bukan karena mencari ilmu kanuragan, tetapi karena memang belum memiliki modal, Slamet memutuskan puasa 40 hari.

Setiap hari, dia mengutak-atik eceng gondok. Beberapa kerajinan pun berhasil diciptakan. Salah satunya tempat kartu nama. Untuk memasarkan karyanya, Slamet harus berjalan kaki ke Museum Kerata Api di Ambarawa yang jaraknya mencapai 10 kilometer lebih. "Eceng gondok belum dimanfaatkan maksimal. Justru Solo dan Yogya yang menikmati hasil lebih. Selama ini, warga di sekitar Rawa Pening hanya sebagai pencari dan pengepul. Pelatihan pemanfaatan yang diberikan pun tidak ada tindak lanjutnya. Padahal, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) jauh lebih penting dari pada pembangunan fisiknya yang cenderung mudah rusak," paparnya.

Slamet pun secara mandiri mengajak ibu-ibu di kampung sekitar untuk memanfaatkan eceng gondok sebagai kerajinan. Metodenya pun bukan memberi pelatihan. Ibu-ibu mendapatkan honor dari membuat anyaman eceng gondok berbentuk lembaran, tali hingga bentuk segitiga sebagai bahan dasar membuat miniatur Candi Gedongsongo melalui sebuah kelompok yang kini beranggotakan 30-an orang.

Tak hanya itu, anak-anak muda di kampungnya pun tidak sekadar dilatih. Tetapi, ketika selesai merangkai anyaman-anyaman eceng gondok menjadi sebuah handycraft, Slamet memberikan imbalan. Bahkan, ketika diundang ke berbagai daerah untuk seminar maupun workshop eceng gondok, para pemuda itu diajak. Dan sesekali menggantikan dirinya sebagai pembicara. "Honor menjadi pembicara menjadi modal kami untuk pengembangan usaha dan memberikan pelatihan sekaligus pendampingan yang intensif," tukasnya.

Tak hanya kalangan ibu rumah tangga, Slamet juga memberdayakan kaum difabel di Jumo, Temanggung dan di Purwodadi untuk membantu membuat anyaman sebagai bahan dasar membuat kerajinan. Honor mereka diberikan Slamet setelah produk mereka dikirim ke tempat tinggalnya yang dia ubah menjadi tempat usaha.

Setiap hari, Slamet didampingi anak-anak muda dari desanya. Selain membantu menyelesaikan produk, mereka juga mendapingi kelompok ibu-ibu maupun kaum difabel di Temanggung dan Purwodadi untuk membuat produk dan bentuk baru berbahan dasar eceng gondok. Bahkan, ada pula yang menjadi pembicara pelatihan atau seminar, ketika Slamet tidak bisa datang secara langsung.

Baginya, metode pemberdayaan justru mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang saat ini menjadi fokus Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Dia berharap, dana desa bisa untuk pemberdayaan masyarakat. "Dana desa tidak harus selalu untuk fisik. Tetapi bisa untuk program pemberdayaan masyarakat. Karena, membangun SDM itu lebih penting, sebagai pembentukan karakter paling mendasar bagi manusia," ujarnya.

Slamet juga mengapreasiasi panitia Festival Anggaran di GOR Tenis Pandanaran Wujil Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang yang dihadiri Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Presiden Jancukers Sudjiwo Tedjo akhir 2018 lalu. Salah satunya, produk kerajinan anyaman eceng gondok produksinya yang berbentuk Candi Gedongsongo menjadi cenderamata atau plakat bagi para tamu undangan.

 

Baca juga :Eceng Gondok Rawa Pening, Gulma Yang Lebih Menggiurkan dari Ikan


Bagikan :

SEMARANG - Satu persatu anyaman dari eceng gondok beragam bentuk ditata sedemikan rupa. Dari bujur sangkar, piramida besar, piramida kecil dijadikan satu menggunakan lem. Lalu, jadilah miniatur Candi Gedongsongo.

Untuk fisnishing, agar mengkilap dan tahan lama, dikuas dengan larutan insektisida maupun fungisida. Dengan zat-zat tersebut meresap ke dalam subtrat eceng gondok, membuat material tersebut tidak bisa ditumbuhi lagi oleh jamur maupun diserang hama serangga besar maupun berukuran mikroskopik.

Tak hanya miniatur Candi Gedongsongo. Ada kerajinan dari eceng gondok yang dibuat oleh Slamet Tri Amanto, 44, warga RT 4 RW 9 Desa Kebondowo, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Ada sofa, lokomotif kereta api kuno, tempat tisu, meja, kursi, rak buku, keranjang, tas, miniatur harley davidson, mobil-mobilan, topi, sandal, tempat sampah, tudung saji, dan tank.

Suami dari Diah Eko Sari, 41, dan bapak dari Hafidzah Isnaini, 18, dan Haura Tria Safiya, 10, itu menuturkan perjalanannya membuat beragam kerajinan dari eceng gondok yang sudah dia kirim hingga Malaysia, Singapura, dan Dubai. Harga per kerjaninan yang dijualnya, berkisar antara Rp200 ribu hingga jutaan rupiah bergantung ukuran dan kerumitan pembuatan.

Dia mengisahkan awal mula dirinya menekuni kerajinan berbahan baku eceng gondok. Di kawasan sekitar Rawa Pening, setiap hari ada sekitar 2.000-an petani yang memetik dan menjual Eceng Gondok ke pengepul-pengepul dengan harga Rp12 ribuan per ikat besar untuk eceng gondok basah. Eceng gondok itu oleh para pengepul dikeringkan dan dijual kembali ke Solo dan Yogyakarta.

Di dua kota itu, eceng gondok kering dibuat beragam kerajinan anyaman. Lho, mengapa bukan warga sekitar Rawa Pening yang membuat? Kalimat itulah yang membuat Slamet prihatin dan memutuskan pulang kampung dari merantau di Jakarta pada 2003 silam dengan menumpang mobil bok bersama istri dan anaknya.

Bermodalkan uang Rp60 ribu, Slamet mulai membuat kerajinan eceng gondok. Uang itu dia belikan gunting, cutter dan lem usai sebelumnya ikut program padat karya. Bukan karena mencari ilmu kanuragan, tetapi karena memang belum memiliki modal, Slamet memutuskan puasa 40 hari.

Setiap hari, dia mengutak-atik eceng gondok. Beberapa kerajinan pun berhasil diciptakan. Salah satunya tempat kartu nama. Untuk memasarkan karyanya, Slamet harus berjalan kaki ke Museum Kerata Api di Ambarawa yang jaraknya mencapai 10 kilometer lebih. "Eceng gondok belum dimanfaatkan maksimal. Justru Solo dan Yogya yang menikmati hasil lebih. Selama ini, warga di sekitar Rawa Pening hanya sebagai pencari dan pengepul. Pelatihan pemanfaatan yang diberikan pun tidak ada tindak lanjutnya. Padahal, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) jauh lebih penting dari pada pembangunan fisiknya yang cenderung mudah rusak," paparnya.

Slamet pun secara mandiri mengajak ibu-ibu di kampung sekitar untuk memanfaatkan eceng gondok sebagai kerajinan. Metodenya pun bukan memberi pelatihan. Ibu-ibu mendapatkan honor dari membuat anyaman eceng gondok berbentuk lembaran, tali hingga bentuk segitiga sebagai bahan dasar membuat miniatur Candi Gedongsongo melalui sebuah kelompok yang kini beranggotakan 30-an orang.

Tak hanya itu, anak-anak muda di kampungnya pun tidak sekadar dilatih. Tetapi, ketika selesai merangkai anyaman-anyaman eceng gondok menjadi sebuah handycraft, Slamet memberikan imbalan. Bahkan, ketika diundang ke berbagai daerah untuk seminar maupun workshop eceng gondok, para pemuda itu diajak. Dan sesekali menggantikan dirinya sebagai pembicara. "Honor menjadi pembicara menjadi modal kami untuk pengembangan usaha dan memberikan pelatihan sekaligus pendampingan yang intensif," tukasnya.

Tak hanya kalangan ibu rumah tangga, Slamet juga memberdayakan kaum difabel di Jumo, Temanggung dan di Purwodadi untuk membantu membuat anyaman sebagai bahan dasar membuat kerajinan. Honor mereka diberikan Slamet setelah produk mereka dikirim ke tempat tinggalnya yang dia ubah menjadi tempat usaha.

Setiap hari, Slamet didampingi anak-anak muda dari desanya. Selain membantu menyelesaikan produk, mereka juga mendapingi kelompok ibu-ibu maupun kaum difabel di Temanggung dan Purwodadi untuk membuat produk dan bentuk baru berbahan dasar eceng gondok. Bahkan, ada pula yang menjadi pembicara pelatihan atau seminar, ketika Slamet tidak bisa datang secara langsung.

Baginya, metode pemberdayaan justru mempercepat upaya pengentasan kemiskinan yang saat ini menjadi fokus Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Dia berharap, dana desa bisa untuk pemberdayaan masyarakat. "Dana desa tidak harus selalu untuk fisik. Tetapi bisa untuk program pemberdayaan masyarakat. Karena, membangun SDM itu lebih penting, sebagai pembentukan karakter paling mendasar bagi manusia," ujarnya.

Slamet juga mengapreasiasi panitia Festival Anggaran di GOR Tenis Pandanaran Wujil Kecamatan Bergas Kabupaten Semarang yang dihadiri Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Presiden Jancukers Sudjiwo Tedjo akhir 2018 lalu. Salah satunya, produk kerajinan anyaman eceng gondok produksinya yang berbentuk Candi Gedongsongo menjadi cenderamata atau plakat bagi para tamu undangan.

 

Baca juga :Eceng Gondok Rawa Pening, Gulma Yang Lebih Menggiurkan dari Ikan


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu