Follow Us :              

Sing Waras Ngalah (itu) Salah

  03 March 2017  |   18:00:00  |   dibaca : 3763 
Kategori :
Bagikan :


Sing Waras Ngalah (itu) Salah

03 March 2017 | 18:00:00 | dibaca : 3763
Kategori :
Bagikan :

Foto : (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : (Humas Jateng)

Rembang - Jurnalisme pada era sekarang, sedang digelisahkan dengan berita-berita hoax (bohong) yang kerap berseliweran di media sosial. Berita hoax itu sangat rentan memecah belah persatuan, sehingga menuntut tanggungjawab semua pihak, terutama insan pers dan mitra kerjanya untuk mengembalikan kondisi pada harga diri jurnalisme yang sesungguhnya. Yakni, jurnalisme yang bermartabat, akuntabel dan mengedukasi.

 

"Sekarang banyak beredar fiqih jurnalistik. Ini luar biasa karena ini membuka wacana kesadaran kita, bagaimana kita kembali ke khittoh tentang pers yang sehat," tutur Ketua PWI Jateng Amir Machmud dalam peringatan Hari Pers Nasional 2017 dan HUT ke-71 PWI tingkat Jawa Tengah di Pendapa Museum Kartini, Jumat (3/3).

 

Seperti apakah pers yang sehat? Saat berdiskusi dengan para insan pers, lanjutnya, disimpulkan bahwa pers yang sehat adalah pers yang proffesional. Pers yang proffesional adalah pers yang membawa kemaslahatan bagi bangsa.

 

"Bagaimana proffesional ini dijabarkan? Proffesional dijabarkan dengan meyakini bahwa dengan scheme yang bagus, maka seorang wartawan akan jadi insan pers yang hebat. Tapi itu tidak cukup tanpa dibekali etika. Abai pada standart etika inilah yang jadi salah satu sumber berita hoax. Bukan hanya di media sosial, tapi bahkan di media-media yang tidak jelas," urainya.

 

Berita hoax yang seringkali ditemui di media sosial, disebut Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP sebagai jurnalisme sakkarepmu (terserah kamu). Boleh mencaci, boleh membully, boleh membenci atau pun memuat berita hoax. Kontrol media sosial terhadap hal itu, masih sangat sedikit. Untuk mengendalikannya, menurut dia, sebenarnya tergantung dari niat masing-masing penggunanya. Apakah punya niat membuat keadaan bertambah panas, atau sejuk.

 

"Bagaimana cara mengendalikannya? Nek ra seneng ra sah dijawab. Kalau bolak balik, kopang kaping dia bicara hoax, kita bisa block saja. Fasilitasnya memang ada tho?," tuturnya.

 

Saat mengetahui adanya berita hoax, imbuhnya, tidak boleh disikapi pengguna media sosial dengan adegium "Sing Waras Ngalah". Sebab, begitu yang waras mengalah, maka yang tidak waras akan mengaku waras. Seolah-olah yang tidak waras menjadi waras dan benar.

 

"Adegium yang mengatakan sing waras ngalah, salah. Tidak boleh hari ini. Anomali ini harus dihajar. Maka sama statement saya dengan PWI. Hoax harus dilibas, hoax harus dihajar. Dan orang baik, orang benar harus bicara," katanya lantang.

 

Ganjar menambahkan, masyarakat sebenarnya merindukan berita-berita yang sejuk. Orang nomor satu di Jawa Tengah itu mencontohkan, saat PB Nahdlatul Ulama mengunggah video pendek berisi harmoni keberagaman yang menggambarkan Pancasila, banyak masyarakat yang mengapresiasinya.

 

"Video pendek PB NU tentang keberagaman, tentang Pancasila, saya mention di twitter, cuma saya tulisi PB NU, itu ternyata di retweet sekian ratus orang. Betapa sebenarnya silent movement juga terjadi karena kita mengharapkan kesejukan itu," beber ayah satu putera itu.

 

Banyaknya berita hoax, memang harus dilibas. Namun, Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, Sasongko Tejo berpendapat tidak perlu terlampau dikhawatirkan. Sebab, umumnya berita hoax hanya euforia terhadap suatu kejadian yang pada suatu saat tertentu akan berhenti sendiri.

 

"Media mainstream tidak boleh tinggal diam menghadapi fenomena berita hoax yang sangat merugikan bangsa. Namun menurut saya tidak perlu terlalu khawatir karena hoax hanya suatu euforia yang nanti akan berhenti, karena orang akan tetap menginginkan, mencari, dan membutuhkan berita yang benar. Dan itu hanya ada di media mainstream karena media mainstream adalah produk jurnalistik," jelasnya.

 

Pihaknya yakin masyarakat akan kembali ke media mainstream karena merupakan produk jurnalistik yang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi proses maupun ketaatannya pada etika.

 

Dalam peringatan HPN dan HUT ke-71 PWI tingkat Jateng itu, PWI juga memberikan penghargaan PWI Jateng Award kepada sejumlah tokoh. Yakni, KH Mustofa Bisri (tokoh yang memberi andil besar dalam membangun sikap toleran dan harmonis), Plt Kakanwil DJP Jateng I Hasto Ledianto (Tokoh Pegiat Amnesti Pajak), Edi Noersasongko (Rektor Udinus) sebagai Tokoh Pendidikan, Atna Tukiman (Ketum KSP Bhina Raharja Rembang) untuk kategori Tokoh Koperasi dan UMKM, dan Ali Masyhar (Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa) sebagai Tokoh Infrastruktur Migas. Selanjutnya Willyanto (Ketua Umum Pengprov POBSI Jateng) sebagai Tokoh Pembina Olahraga, Dirut Bank Jateng, Supriyatno (Tokoh Pelopor Suku Bunga Kredit Rendah), dan Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP sebagai Gubernur Social Media atas kiprahnya yang aktif memanfaatkan twitter, dalam menyerap aspirasi masyarakat. (Humas Jateng)

 


Bagikan :

Rembang - Jurnalisme pada era sekarang, sedang digelisahkan dengan berita-berita hoax (bohong) yang kerap berseliweran di media sosial. Berita hoax itu sangat rentan memecah belah persatuan, sehingga menuntut tanggungjawab semua pihak, terutama insan pers dan mitra kerjanya untuk mengembalikan kondisi pada harga diri jurnalisme yang sesungguhnya. Yakni, jurnalisme yang bermartabat, akuntabel dan mengedukasi.

 

"Sekarang banyak beredar fiqih jurnalistik. Ini luar biasa karena ini membuka wacana kesadaran kita, bagaimana kita kembali ke khittoh tentang pers yang sehat," tutur Ketua PWI Jateng Amir Machmud dalam peringatan Hari Pers Nasional 2017 dan HUT ke-71 PWI tingkat Jawa Tengah di Pendapa Museum Kartini, Jumat (3/3).

 

Seperti apakah pers yang sehat? Saat berdiskusi dengan para insan pers, lanjutnya, disimpulkan bahwa pers yang sehat adalah pers yang proffesional. Pers yang proffesional adalah pers yang membawa kemaslahatan bagi bangsa.

 

"Bagaimana proffesional ini dijabarkan? Proffesional dijabarkan dengan meyakini bahwa dengan scheme yang bagus, maka seorang wartawan akan jadi insan pers yang hebat. Tapi itu tidak cukup tanpa dibekali etika. Abai pada standart etika inilah yang jadi salah satu sumber berita hoax. Bukan hanya di media sosial, tapi bahkan di media-media yang tidak jelas," urainya.

 

Berita hoax yang seringkali ditemui di media sosial, disebut Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP sebagai jurnalisme sakkarepmu (terserah kamu). Boleh mencaci, boleh membully, boleh membenci atau pun memuat berita hoax. Kontrol media sosial terhadap hal itu, masih sangat sedikit. Untuk mengendalikannya, menurut dia, sebenarnya tergantung dari niat masing-masing penggunanya. Apakah punya niat membuat keadaan bertambah panas, atau sejuk.

 

"Bagaimana cara mengendalikannya? Nek ra seneng ra sah dijawab. Kalau bolak balik, kopang kaping dia bicara hoax, kita bisa block saja. Fasilitasnya memang ada tho?," tuturnya.

 

Saat mengetahui adanya berita hoax, imbuhnya, tidak boleh disikapi pengguna media sosial dengan adegium "Sing Waras Ngalah". Sebab, begitu yang waras mengalah, maka yang tidak waras akan mengaku waras. Seolah-olah yang tidak waras menjadi waras dan benar.

 

"Adegium yang mengatakan sing waras ngalah, salah. Tidak boleh hari ini. Anomali ini harus dihajar. Maka sama statement saya dengan PWI. Hoax harus dilibas, hoax harus dihajar. Dan orang baik, orang benar harus bicara," katanya lantang.

 

Ganjar menambahkan, masyarakat sebenarnya merindukan berita-berita yang sejuk. Orang nomor satu di Jawa Tengah itu mencontohkan, saat PB Nahdlatul Ulama mengunggah video pendek berisi harmoni keberagaman yang menggambarkan Pancasila, banyak masyarakat yang mengapresiasinya.

 

"Video pendek PB NU tentang keberagaman, tentang Pancasila, saya mention di twitter, cuma saya tulisi PB NU, itu ternyata di retweet sekian ratus orang. Betapa sebenarnya silent movement juga terjadi karena kita mengharapkan kesejukan itu," beber ayah satu putera itu.

 

Banyaknya berita hoax, memang harus dilibas. Namun, Wakil Ketua Bidang Organisasi PWI Pusat, Sasongko Tejo berpendapat tidak perlu terlampau dikhawatirkan. Sebab, umumnya berita hoax hanya euforia terhadap suatu kejadian yang pada suatu saat tertentu akan berhenti sendiri.

 

"Media mainstream tidak boleh tinggal diam menghadapi fenomena berita hoax yang sangat merugikan bangsa. Namun menurut saya tidak perlu terlalu khawatir karena hoax hanya suatu euforia yang nanti akan berhenti, karena orang akan tetap menginginkan, mencari, dan membutuhkan berita yang benar. Dan itu hanya ada di media mainstream karena media mainstream adalah produk jurnalistik," jelasnya.

 

Pihaknya yakin masyarakat akan kembali ke media mainstream karena merupakan produk jurnalistik yang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi proses maupun ketaatannya pada etika.

 

Dalam peringatan HPN dan HUT ke-71 PWI tingkat Jateng itu, PWI juga memberikan penghargaan PWI Jateng Award kepada sejumlah tokoh. Yakni, KH Mustofa Bisri (tokoh yang memberi andil besar dalam membangun sikap toleran dan harmonis), Plt Kakanwil DJP Jateng I Hasto Ledianto (Tokoh Pegiat Amnesti Pajak), Edi Noersasongko (Rektor Udinus) sebagai Tokoh Pendidikan, Atna Tukiman (Ketum KSP Bhina Raharja Rembang) untuk kategori Tokoh Koperasi dan UMKM, dan Ali Masyhar (Kepala Perwakilan SKK Migas Jabanusa) sebagai Tokoh Infrastruktur Migas. Selanjutnya Willyanto (Ketua Umum Pengprov POBSI Jateng) sebagai Tokoh Pembina Olahraga, Dirut Bank Jateng, Supriyatno (Tokoh Pelopor Suku Bunga Kredit Rendah), dan Gubernur Jawa Tengah H Ganjar Pranowo SH MIP sebagai Gubernur Social Media atas kiprahnya yang aktif memanfaatkan twitter, dalam menyerap aspirasi masyarakat. (Humas Jateng)

 


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu