Follow Us :              

Pernah Jadi Rumdin Petinggi VOC, Kini Wisma Perdamaian Jadi Tempat Berkegiatan

  10 January 2019  |   09:45:00  |   dibaca : 7628 
Kategori :
Bagikan :


Pernah Jadi Rumdin Petinggi VOC, Kini Wisma Perdamaian Jadi Tempat Berkegiatan

10 January 2019 | 09:45:00 | dibaca : 7628
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

SEMARANG - Bagi yang sering melintas di Kawasan Tugu Muda atau berkunjung ke Lawang Sewu, tentu tahu keberadaan Wisma Perdamaian. Bangunan yang berdiri di Jalan Imam Bonjol No 209 itu memiliki luas lahan sekitar 15.000 meter persegi dengan total luas bangunan 6.500 meter persegi.

Wisma Perdamaian, dahulu dikenal dengan nama De Vredestein yang artinya istana perdamaian. Dinamakan begitu karena Belanda merasa situasi kehidupan saat itu terasa begitu damai. Gedung yang dirancang oleh Nicholas Harting itu kini telah mengalami beberapa perubahan. 

Hingga pertengahan abad ke-19, gedung itu masih berupa bangunan tunggal dua lantai yang berarsitektur klasik dan dicirikan dengan adanya pilar pilar rangkap dengan kapitel berornamen dan bermotif bunga. Pada masa itu, diduga terdapat courtyard/ portico. Cornice dengan ornamen berupa moudling/list yang terdapat pada seluruh tepi dinding, baik pada pertemuan dengan atap maupun pada garis lantai 2.

Menjelang abad ke-20, ditambahkan serambi bangunan di samping kanan dan kiri, serta atap diubah menjadi limasan penuh. Diduga pada saat itu courtyard ditutup. Pada tahun 1940-an, ditambah serambi beratap pada bagian depan bangunan, serambi ini sekaligus sebagai balkon pada lantai duanya. Pada awal abad ke-20, bangunan samping dibongkar, kemudian ditambahkan tritisan/luifel gantung dengan rangka besi yang berpenutup seng.

Tahun 1970-an ditambahkan lagi bangunan 2 lantai di bagian belakang dari kiri bangunan induk, yang kemudian digunakan untuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1978, dengan mengganti luifel gantung menjadi plat dan konsol beton dengan banyak ornamen ukiran, serta mengganti daun pintu dan jendela dengan bahan baru, termasuk pula membuat tangga layang pada ruang depan.

Dibangunnya bangunan kantor pada sisi kanan bangunan utama yang mengadopsi bentuk bangunan induk yang bergaya kolonial itu dilakukan sebagai salah satu langkah pelestarian atau konservasi terhadap bangunan kuno Wisma Perdamaian.

Guru Besar Arsitektur Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Totok Roesmanto menjelaskan, Wisma Perdamaian dulunya digunakan sebagai rumah dinas petinggi VOC yang menjabat sebagai Gouverneur van Java's Noord-Oostkust (Gubernur Jawa Utara Bagian Pesisir Timur) dan pertama kali digunakan sebelum 1755 menjelang perjanjian Giyanti. Bangunan itu juga merupakan bagian dari rancangan pelebaran kota dari wilayah Kota Lama menuju ke arah Karang Asem (sekarang Randusari). ''De Vredestein memiliki kaitan erat dengan sejarah Perang Jawa. Bangunan ini sangat bersejarah mengingat di situlah tempat kedudukan gubernur VOC yang menguasai Pantai Utara Jawa,'' tuturnya.

Secara arsitektur, bangunan Wisma Perdamaian juga telah mengalami banyak perubahan menyesuaikan fungsi bangunan itu sendiri. Karena pernah digunakan sebagai tempat pendidikan APDN pada 1978, dan pernah juga digunakan untuk Kantor Sosial pada 1980-an dan selanjutnya untuk Kantor Kanwil Pariwisata Jawa Tengah (Jateng) pada 1994.

Setelah direvitalisasi pada 1994, gedung itu sempat menjadi Rumah Dinas Gubernur Jateng pada era Gubernur Suwardi bebarengan dengan penyematan "Wisma Perdamaian" sebagai nama gedung. Namun, setelah era Gubernur Suwardi, para gubernur kembali menggunakan Puri Gedeh di Kecamatan Gajahmungkur menjadi rumah dinas. Kini, Wisma Perdamaian lebih sering digunakan untuk kegiatan pemerintah provinsi ataupun dimanfaatkan untuk kegiatan budaya, seni, ataupun pendidikan.

Gubernur Ganjar Pranowo pun dalam sebuah kesempatan mempersilakan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memanfaatkan Wisma Perdamaian sesuai dengan kebutuhan komunitas yang akan menggunakannya. 

Agenda yang diprioritaskan di antaranya event kebudayaan serta hal-hal yang mengangkat kelokalan dan produk desa, juga event komunitas dan event-event lain yang membudayakan masyarakat Jateng. Agenda-agenda itu merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Pemprov Jateng dalam melestarikan kebudayaan dan kejeniusan lokal masyarakat.
Foto credit Doc KITLV.nl


Bagikan :

SEMARANG - Bagi yang sering melintas di Kawasan Tugu Muda atau berkunjung ke Lawang Sewu, tentu tahu keberadaan Wisma Perdamaian. Bangunan yang berdiri di Jalan Imam Bonjol No 209 itu memiliki luas lahan sekitar 15.000 meter persegi dengan total luas bangunan 6.500 meter persegi.

Wisma Perdamaian, dahulu dikenal dengan nama De Vredestein yang artinya istana perdamaian. Dinamakan begitu karena Belanda merasa situasi kehidupan saat itu terasa begitu damai. Gedung yang dirancang oleh Nicholas Harting itu kini telah mengalami beberapa perubahan. 

Hingga pertengahan abad ke-19, gedung itu masih berupa bangunan tunggal dua lantai yang berarsitektur klasik dan dicirikan dengan adanya pilar pilar rangkap dengan kapitel berornamen dan bermotif bunga. Pada masa itu, diduga terdapat courtyard/ portico. Cornice dengan ornamen berupa moudling/list yang terdapat pada seluruh tepi dinding, baik pada pertemuan dengan atap maupun pada garis lantai 2.

Menjelang abad ke-20, ditambahkan serambi bangunan di samping kanan dan kiri, serta atap diubah menjadi limasan penuh. Diduga pada saat itu courtyard ditutup. Pada tahun 1940-an, ditambah serambi beratap pada bagian depan bangunan, serambi ini sekaligus sebagai balkon pada lantai duanya. Pada awal abad ke-20, bangunan samping dibongkar, kemudian ditambahkan tritisan/luifel gantung dengan rangka besi yang berpenutup seng.

Tahun 1970-an ditambahkan lagi bangunan 2 lantai di bagian belakang dari kiri bangunan induk, yang kemudian digunakan untuk Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Renovasi terakhir dilakukan pada tahun 1978, dengan mengganti luifel gantung menjadi plat dan konsol beton dengan banyak ornamen ukiran, serta mengganti daun pintu dan jendela dengan bahan baru, termasuk pula membuat tangga layang pada ruang depan.

Dibangunnya bangunan kantor pada sisi kanan bangunan utama yang mengadopsi bentuk bangunan induk yang bergaya kolonial itu dilakukan sebagai salah satu langkah pelestarian atau konservasi terhadap bangunan kuno Wisma Perdamaian.

Guru Besar Arsitektur Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Totok Roesmanto menjelaskan, Wisma Perdamaian dulunya digunakan sebagai rumah dinas petinggi VOC yang menjabat sebagai Gouverneur van Java's Noord-Oostkust (Gubernur Jawa Utara Bagian Pesisir Timur) dan pertama kali digunakan sebelum 1755 menjelang perjanjian Giyanti. Bangunan itu juga merupakan bagian dari rancangan pelebaran kota dari wilayah Kota Lama menuju ke arah Karang Asem (sekarang Randusari). ''De Vredestein memiliki kaitan erat dengan sejarah Perang Jawa. Bangunan ini sangat bersejarah mengingat di situlah tempat kedudukan gubernur VOC yang menguasai Pantai Utara Jawa,'' tuturnya.

Secara arsitektur, bangunan Wisma Perdamaian juga telah mengalami banyak perubahan menyesuaikan fungsi bangunan itu sendiri. Karena pernah digunakan sebagai tempat pendidikan APDN pada 1978, dan pernah juga digunakan untuk Kantor Sosial pada 1980-an dan selanjutnya untuk Kantor Kanwil Pariwisata Jawa Tengah (Jateng) pada 1994.

Setelah direvitalisasi pada 1994, gedung itu sempat menjadi Rumah Dinas Gubernur Jateng pada era Gubernur Suwardi bebarengan dengan penyematan "Wisma Perdamaian" sebagai nama gedung. Namun, setelah era Gubernur Suwardi, para gubernur kembali menggunakan Puri Gedeh di Kecamatan Gajahmungkur menjadi rumah dinas. Kini, Wisma Perdamaian lebih sering digunakan untuk kegiatan pemerintah provinsi ataupun dimanfaatkan untuk kegiatan budaya, seni, ataupun pendidikan.

Gubernur Ganjar Pranowo pun dalam sebuah kesempatan mempersilakan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk memanfaatkan Wisma Perdamaian sesuai dengan kebutuhan komunitas yang akan menggunakannya. 

Agenda yang diprioritaskan di antaranya event kebudayaan serta hal-hal yang mengangkat kelokalan dan produk desa, juga event komunitas dan event-event lain yang membudayakan masyarakat Jateng. Agenda-agenda itu merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh Pemprov Jateng dalam melestarikan kebudayaan dan kejeniusan lokal masyarakat.
Foto credit Doc KITLV.nl


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu