Follow Us :              

Unik, Di Pasar Ini Transaksinya Pakai Uang Kepingan Bambu

  11 March 2019  |   08:30:00  |   dibaca : 5493 
Kategori :
Bagikan :


Unik, Di Pasar Ini Transaksinya Pakai Uang Kepingan Bambu

11 March 2019 | 08:30:00 | dibaca : 5493
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

TEMANGGUNG – Dari sekian banyak konsep desa wisata yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, Kabupaten Temanggung menjadi salah satu jujugan favorit wisatawan. Adalah Pasar Papringan yang berada di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung yang keberadaannya kini makin tersohor.

Bukan tanpa alasan Pasar Papringan menjadi destinasi wisata favorit. Memiliki konsep kearifan lokal yang unik, sisi tradisionalitas, serta barang yang dijual di pasar ini mungkin sulit ditemukan di lokasi lain. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang datang hanya untuk sekadar alasan ingin meraskaan nuansa alami maupun berburu spot untuk berswafoto.

Di balik keindahan Pasar Papringan sendiri, ternyata ada para penggiat yang ingin menyajikan sebuah konsep wisata baru guna mengikis kejenuhan masyarakat akan suguhan destinasi yang itu-itu saja. Mereka adalah Komunitas Mata Air yang digawangi oleh para pemuda di desa tersebut.

Ketua Komunitas Mata Air, Imam Abdul Rofik, 30, mengatakan, konsep dasar membuat sebuah pasar di bawah rimbunan vegetasi bambu ini sebenarnya terinspirasi oleh pasar serupa yang sebelumnya pernah digelar juga di Dusun Kelingan, Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung.

Dia menyebut, Pasar Papringan di desanya itu, menempati sebuah lahan bambu seluas 2.500 meter persegi. Pasar hanya akan dibuka setiap Minggu Wage dan Pon dalam penanggalan Jawa saja, tepatnya mulai pukul 06.00 sampai 12.00 WIB. Di samping sebagai upaya konservasi alam, keberadaan pasari juga difungsikan untuk mengangkat segala kearifan lokal masyarakat sekaligus merangsang pertumbuhan ekonimi warga setempat.

“Dahulu, tempat yang disulap menjadi pasar papringan ini hanya digunakan oleh warga setempat sebagai lokasi pembuangan sampah. Nah, bermula dari rasa kepedulian ini, akhirnya kami sepakat untuk menjadikannya sebuah destinasi wisata baru,” jelasnya.

Dia menambahkan, di dalam pasar terdapat puluhan lapak yang mayoritas dijalankan warga dusun dengan menjual beberapa barang dagangan mulai olahan kuliner khas, hasil pertanian, produk kerajinan lokal, hingga mainan tradisional. Yang menjadi unik, pengunjung dan pedagang di tempat ini diwajibkan bertransaksi menggunakan kepingan uang berbentuk persegi panjang yang terbuat dari bambu. Setiap keping uang bambu bernilai Rp2.000 yang dapat ditukarkan di berbagai titik di dalam pasar.

“Ada yang menjual nasi jagung, mangut, jamu, dawet anget khas Ngadiprono, jajanan pasar, serta yang paling khas adalah makanan bernama Nglemeng. Yaitu campuran ubi dan gula merah yang dimasukkan ke dalam batang bambu dan dimasak dengan cara dibakar. Harganya macam-macam, ada yang 1 keping dan seterusnya. Semua ini untuk mempekenalkan kekayaan produk lokal masyarakat dusun kepada khalayak ramai,” tuturnya.

Sejak dibuka pada medio tahun 2017 silam, sudah tak terhitung lagi berapa jumlah wisatawan yang datang berkunjung. Tak hanya berasal dari Temanggung dan sekitarnya saja, mereka juga berasal dari luar daerah seperti Bali dan Surabaya, bahkan wisatawan mancanegara. Di antaranya Thailand, Amerika Serikat, dan Jepang.

Keberadaan pasar ini juga turut mendongkrak perhatian warga setempat. Buktinya, beberapa kegiatan seperti upacara bendera dan festival mainan tradisional juga sempat digelar di lokasi tersebut. “Kami ingin menjadikan papringan sebagai pusat aktifitas dan perekonomian bagi masyarakat di desa ini. Ini menjadi bukti bahwa dengan sentuhan khusus serta kreatifitas, desa juga mampu menjadi pusat dimulainya roda perekonomian,” harapnya.

Noimah, 49, warga setempat merasakan betul dampak ekonomi keberadaan pasar tersebut. Dia yang berjualan nasi jagung, menjual seporsi dengan harga 2 keping untuk menu biasa, dan 3 sampai 4 keping apabila ditambah dengan lauk seperti telur atau tahu.

“Lumayan belum sampai habis saja saya sudah dapat 110 keping koin bambu. Jelas ini bisa jadi tambahan untuk menopang ekonomi rumah tangga,” ujar wanita yang sehari-hari menjadi peternak kambing ini.

Sedangkan Indri Suwartiyah, 42, salah seorang pengunjung asal Bawen, Kabupaten Semarang mengau tertarik datang ke pasar itu karena sebelumnya melihat foto dan video yang bertebaran di dunia maya. Dia berpendapat, sajian alam dan nuansa yang disuguhkan di pasar itu punya keunikan yang tak dijumpai di tempat lain. Tak hanya kesejukan, dia juga sangat tertarik dengan makanan dan barang yang dijual di lokasi itu.

“Pikiran saya merasa seperti pada zaman dulu. Jual beli dengan kepingan bambu. Rasanya, datang ke tempat ini adalah hal langka di tengan zaman yang kian modern. Apalagi kalau datangnya sama keluarga. Lebih afdol kayaknya,” bebernya.

Di sisi lain, Singgih S Kartono, selaku pendamping penyelenggara menyampaikan, dipilihnya konsep pasar bambu lantaran sejauh ini rumpun bambu di berbagai wilayah pedesaan sangat rentan digusur lantaran dianggap sebagai lokasi yang kotor, banyak sampah, dan dipenuhi nyamuk.

Padahal, rumpun bambu memiliki nilai estetika tinggi sekaligus beragam manfaat. Mulai penghasil oksigen, menyuburkan tanah, bahan material bangunan mengingat teksturnya yang kuat, hingga mengandung keterikatan psikis yang kuat dengan masyarakat desa.

“Ini adalah harta karun kita. Kami ingin kebun bambu kembali dicintai masyarakat, menghidupkan nilai sosial, sekaligus memberikan nilai ekonomis tinggi. Apalagi bambu di Indonesia sangat istimewa karena tumbuh berumpun dan memberikan celah ruang untuk beraktifitas. Beda dengan di luar negeri seperti China dimana bambu tumbuh sendiri-sendiri sehingga sangat rapat,” katanya.

Selain mengajarkan para pedagang untuk menyajikan makanan berkualitas dari segi harga, rasa, dan visual, diselenggarakannya pasar papringan juga memberikan berkah bagi pemilik lahan. Mereka mendapat restribusi pendapatan Rp10.000 dari masing-masing lapak yang ada.

Dengan tingginya animo pengunjung, dia memiliki keinginan untuk mengembangkan konsep-konsep kearifan lokal serupa di tempat lain, namun tanpa meninggalkan nilai otentik. Terutama untuk menjadikan masyarakat kembali menggemari sesuatu yang nyaris dilupakan. “Memajukan masyarakat adalah proyek jangka panjang. Jadi pendekatannya harus benar dan konsisten,” ungkapnya.

 

Baca juga : Pesona Kolbu, Sambut Mentari Sambil Nikmati Kuliner Tradisional


Bagikan :

TEMANGGUNG – Dari sekian banyak konsep desa wisata yang tersebar di berbagai penjuru Indonesia, Kabupaten Temanggung menjadi salah satu jujugan favorit wisatawan. Adalah Pasar Papringan yang berada di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung yang keberadaannya kini makin tersohor.

Bukan tanpa alasan Pasar Papringan menjadi destinasi wisata favorit. Memiliki konsep kearifan lokal yang unik, sisi tradisionalitas, serta barang yang dijual di pasar ini mungkin sulit ditemukan di lokasi lain. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang datang hanya untuk sekadar alasan ingin meraskaan nuansa alami maupun berburu spot untuk berswafoto.

Di balik keindahan Pasar Papringan sendiri, ternyata ada para penggiat yang ingin menyajikan sebuah konsep wisata baru guna mengikis kejenuhan masyarakat akan suguhan destinasi yang itu-itu saja. Mereka adalah Komunitas Mata Air yang digawangi oleh para pemuda di desa tersebut.

Ketua Komunitas Mata Air, Imam Abdul Rofik, 30, mengatakan, konsep dasar membuat sebuah pasar di bawah rimbunan vegetasi bambu ini sebenarnya terinspirasi oleh pasar serupa yang sebelumnya pernah digelar juga di Dusun Kelingan, Desa Caruban, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung.

Dia menyebut, Pasar Papringan di desanya itu, menempati sebuah lahan bambu seluas 2.500 meter persegi. Pasar hanya akan dibuka setiap Minggu Wage dan Pon dalam penanggalan Jawa saja, tepatnya mulai pukul 06.00 sampai 12.00 WIB. Di samping sebagai upaya konservasi alam, keberadaan pasari juga difungsikan untuk mengangkat segala kearifan lokal masyarakat sekaligus merangsang pertumbuhan ekonimi warga setempat.

“Dahulu, tempat yang disulap menjadi pasar papringan ini hanya digunakan oleh warga setempat sebagai lokasi pembuangan sampah. Nah, bermula dari rasa kepedulian ini, akhirnya kami sepakat untuk menjadikannya sebuah destinasi wisata baru,” jelasnya.

Dia menambahkan, di dalam pasar terdapat puluhan lapak yang mayoritas dijalankan warga dusun dengan menjual beberapa barang dagangan mulai olahan kuliner khas, hasil pertanian, produk kerajinan lokal, hingga mainan tradisional. Yang menjadi unik, pengunjung dan pedagang di tempat ini diwajibkan bertransaksi menggunakan kepingan uang berbentuk persegi panjang yang terbuat dari bambu. Setiap keping uang bambu bernilai Rp2.000 yang dapat ditukarkan di berbagai titik di dalam pasar.

“Ada yang menjual nasi jagung, mangut, jamu, dawet anget khas Ngadiprono, jajanan pasar, serta yang paling khas adalah makanan bernama Nglemeng. Yaitu campuran ubi dan gula merah yang dimasukkan ke dalam batang bambu dan dimasak dengan cara dibakar. Harganya macam-macam, ada yang 1 keping dan seterusnya. Semua ini untuk mempekenalkan kekayaan produk lokal masyarakat dusun kepada khalayak ramai,” tuturnya.

Sejak dibuka pada medio tahun 2017 silam, sudah tak terhitung lagi berapa jumlah wisatawan yang datang berkunjung. Tak hanya berasal dari Temanggung dan sekitarnya saja, mereka juga berasal dari luar daerah seperti Bali dan Surabaya, bahkan wisatawan mancanegara. Di antaranya Thailand, Amerika Serikat, dan Jepang.

Keberadaan pasar ini juga turut mendongkrak perhatian warga setempat. Buktinya, beberapa kegiatan seperti upacara bendera dan festival mainan tradisional juga sempat digelar di lokasi tersebut. “Kami ingin menjadikan papringan sebagai pusat aktifitas dan perekonomian bagi masyarakat di desa ini. Ini menjadi bukti bahwa dengan sentuhan khusus serta kreatifitas, desa juga mampu menjadi pusat dimulainya roda perekonomian,” harapnya.

Noimah, 49, warga setempat merasakan betul dampak ekonomi keberadaan pasar tersebut. Dia yang berjualan nasi jagung, menjual seporsi dengan harga 2 keping untuk menu biasa, dan 3 sampai 4 keping apabila ditambah dengan lauk seperti telur atau tahu.

“Lumayan belum sampai habis saja saya sudah dapat 110 keping koin bambu. Jelas ini bisa jadi tambahan untuk menopang ekonomi rumah tangga,” ujar wanita yang sehari-hari menjadi peternak kambing ini.

Sedangkan Indri Suwartiyah, 42, salah seorang pengunjung asal Bawen, Kabupaten Semarang mengau tertarik datang ke pasar itu karena sebelumnya melihat foto dan video yang bertebaran di dunia maya. Dia berpendapat, sajian alam dan nuansa yang disuguhkan di pasar itu punya keunikan yang tak dijumpai di tempat lain. Tak hanya kesejukan, dia juga sangat tertarik dengan makanan dan barang yang dijual di lokasi itu.

“Pikiran saya merasa seperti pada zaman dulu. Jual beli dengan kepingan bambu. Rasanya, datang ke tempat ini adalah hal langka di tengan zaman yang kian modern. Apalagi kalau datangnya sama keluarga. Lebih afdol kayaknya,” bebernya.

Di sisi lain, Singgih S Kartono, selaku pendamping penyelenggara menyampaikan, dipilihnya konsep pasar bambu lantaran sejauh ini rumpun bambu di berbagai wilayah pedesaan sangat rentan digusur lantaran dianggap sebagai lokasi yang kotor, banyak sampah, dan dipenuhi nyamuk.

Padahal, rumpun bambu memiliki nilai estetika tinggi sekaligus beragam manfaat. Mulai penghasil oksigen, menyuburkan tanah, bahan material bangunan mengingat teksturnya yang kuat, hingga mengandung keterikatan psikis yang kuat dengan masyarakat desa.

“Ini adalah harta karun kita. Kami ingin kebun bambu kembali dicintai masyarakat, menghidupkan nilai sosial, sekaligus memberikan nilai ekonomis tinggi. Apalagi bambu di Indonesia sangat istimewa karena tumbuh berumpun dan memberikan celah ruang untuk beraktifitas. Beda dengan di luar negeri seperti China dimana bambu tumbuh sendiri-sendiri sehingga sangat rapat,” katanya.

Selain mengajarkan para pedagang untuk menyajikan makanan berkualitas dari segi harga, rasa, dan visual, diselenggarakannya pasar papringan juga memberikan berkah bagi pemilik lahan. Mereka mendapat restribusi pendapatan Rp10.000 dari masing-masing lapak yang ada.

Dengan tingginya animo pengunjung, dia memiliki keinginan untuk mengembangkan konsep-konsep kearifan lokal serupa di tempat lain, namun tanpa meninggalkan nilai otentik. Terutama untuk menjadikan masyarakat kembali menggemari sesuatu yang nyaris dilupakan. “Memajukan masyarakat adalah proyek jangka panjang. Jadi pendekatannya harus benar dan konsisten,” ungkapnya.

 

Baca juga : Pesona Kolbu, Sambut Mentari Sambil Nikmati Kuliner Tradisional


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu