Follow Us :              

Romo Budi: Menjaga Kerukunan itu Mahal Harganya

  16 March 2019  |   18:15:00  |   dibaca : 907 
Kategori :
Bagikan :


Romo Budi: Menjaga Kerukunan itu Mahal Harganya

16 March 2019 | 18:15:00 | dibaca : 907
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

SEMARANG - Menjelang Pemilu 2019 atau sebagian orang menyebut tahun politik, banyak celah yang dimanfaatkan sebagian orang untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa melalui ujaran kebencian, berita hoaks, palsu dan perang argumentasi saling menjelekkan satu sama lain.

Gelaran Apel Kebangsaan bertajuk “Kita Merah Putih” yang melibatkan seluruh elemen, seperti santri, pramuka, Linmas, petani, nelayan, pelajar, seniman, mahasiswa, tokoh lintas agama, kelompok difabel dan artis nasional menurut tokoh lintas agama Romo Aloys Budi Purnomo, menjadi bentuk untuk menjaga kerukunan.

Harga menjaga kerukunan, kata Pastor Kepala Reksa Pastoral Kampus Unika Soegijapranata Semarang itu, memang mahal harganya, bahkan mempertaruhkan jiwa, raga dan perasaan. Namun, juga perlu diutamakan belarasa dan solidaritas terutama kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tertindas dan difabel (KLMTD). Maka, di samping selebrasi kebersamaan dalam rangka menjaga kerukunan, perlu pula aksi belarasa dan solidaritas.

"Konkritnya misalnya, ada anggaran untuk praksis belarasa. Contoh, untuk mendukung pendidikan atau bahkan dialokasi untuk keluarga-keluarga yang beberapa waktu lalu jadi korban teror pembakaran mobil dan motor. Dengan demikian ada keseimbangan antara selebrasi dan aksi dalam rangka menjaga kerukunan kita berbasis belarasa dan solidaritas," katanya, Sabtu (16/3/2019).

Dikatakan, peneguhan komitmen atas kecintaan terhadap Pancasila dan NKRI dalam kehidupan sehari-hari tampak dalam beberapa hal. Pertama, semakin beriman apa pun agamanya, semakin peka pada kebutuhan sesama. Kedua, dari iman yang kuat lahirlah sikap hormat dan menghargai sesama manusia dalam sikap yang adil dan beradab. Ketiga, hidup rukun dengan tetangga walau berbeda hingga terwujudlah persatuan Indonesia. Keempat, kalau ada masalah, duduk bersama, musyawarah. 

"Jangan kedepankan konflik tapi rekonsiliasi. Akhirnya, peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, adil, bermartabat dan beriman kian terwujud di tengah kita," tandasnya.

Sedangkan kearifan lokal yang bisa menjadi cara untuk meneguhkan komitmen ber-Pancasila, yakni dengan menghidupkan lagi gotong-royong, ramah tamah, guyub rukun. Apalagi, kekayaan seni budaya lokal begitu banyak perlu dirawat dan direvitalisasi dalam rangka pemberdayaan.

Sementara itu, Dosen Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Tedi Kholiludin menegaskan, kegiatan yang berkaitan dengan peneguhan komitmen kebangsaan memang harus terus menerus diupayakan. 

"Idealnya memang harus ada instrumen yang memiliki dampak langsung. Dalam studi performatif, mengirim pesan tertentu memang terkadang perlu dengan sebuah performa," katanya.

Tedi mengaku, tertarik dan merasa penting untuk melihat praktik keseharian sebagai cerminan kerukunan. Tidak bisa dinafikan kalau intoleransi itu ada, tetapi masyarakat yang mau hidup berdampingan jauh lebih banyak. Ini adalah implementasi dari kecintaan terhadap Pancasila secara nyata.

"Kearifan itu nilai yang bersumber dari manapun. Sekarang jatidiri bangsa mulai mendapatkan tantangan, entah itu dalam bentuk ekstrimisme atas nama agama, atau lainnya. Nah, disinilah pentingnya kearifan. Dan local wisdom itu banyak sekali," tandasnya.

 

Baca juga : Ini Rangkaian Acara dan Zonasi Parkir di Apel Kebangsaan ‘Kita Merah Putih’


Bagikan :

SEMARANG - Menjelang Pemilu 2019 atau sebagian orang menyebut tahun politik, banyak celah yang dimanfaatkan sebagian orang untuk memecah persatuan dan kesatuan bangsa melalui ujaran kebencian, berita hoaks, palsu dan perang argumentasi saling menjelekkan satu sama lain.

Gelaran Apel Kebangsaan bertajuk “Kita Merah Putih” yang melibatkan seluruh elemen, seperti santri, pramuka, Linmas, petani, nelayan, pelajar, seniman, mahasiswa, tokoh lintas agama, kelompok difabel dan artis nasional menurut tokoh lintas agama Romo Aloys Budi Purnomo, menjadi bentuk untuk menjaga kerukunan.

Harga menjaga kerukunan, kata Pastor Kepala Reksa Pastoral Kampus Unika Soegijapranata Semarang itu, memang mahal harganya, bahkan mempertaruhkan jiwa, raga dan perasaan. Namun, juga perlu diutamakan belarasa dan solidaritas terutama kepada mereka yang kecil, lemah, miskin, tertindas dan difabel (KLMTD). Maka, di samping selebrasi kebersamaan dalam rangka menjaga kerukunan, perlu pula aksi belarasa dan solidaritas.

"Konkritnya misalnya, ada anggaran untuk praksis belarasa. Contoh, untuk mendukung pendidikan atau bahkan dialokasi untuk keluarga-keluarga yang beberapa waktu lalu jadi korban teror pembakaran mobil dan motor. Dengan demikian ada keseimbangan antara selebrasi dan aksi dalam rangka menjaga kerukunan kita berbasis belarasa dan solidaritas," katanya, Sabtu (16/3/2019).

Dikatakan, peneguhan komitmen atas kecintaan terhadap Pancasila dan NKRI dalam kehidupan sehari-hari tampak dalam beberapa hal. Pertama, semakin beriman apa pun agamanya, semakin peka pada kebutuhan sesama. Kedua, dari iman yang kuat lahirlah sikap hormat dan menghargai sesama manusia dalam sikap yang adil dan beradab. Ketiga, hidup rukun dengan tetangga walau berbeda hingga terwujudlah persatuan Indonesia. Keempat, kalau ada masalah, duduk bersama, musyawarah. 

"Jangan kedepankan konflik tapi rekonsiliasi. Akhirnya, peradaban kasih bagi masyarakat yang sejahtera, adil, bermartabat dan beriman kian terwujud di tengah kita," tandasnya.

Sedangkan kearifan lokal yang bisa menjadi cara untuk meneguhkan komitmen ber-Pancasila, yakni dengan menghidupkan lagi gotong-royong, ramah tamah, guyub rukun. Apalagi, kekayaan seni budaya lokal begitu banyak perlu dirawat dan direvitalisasi dalam rangka pemberdayaan.

Sementara itu, Dosen Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Tedi Kholiludin menegaskan, kegiatan yang berkaitan dengan peneguhan komitmen kebangsaan memang harus terus menerus diupayakan. 

"Idealnya memang harus ada instrumen yang memiliki dampak langsung. Dalam studi performatif, mengirim pesan tertentu memang terkadang perlu dengan sebuah performa," katanya.

Tedi mengaku, tertarik dan merasa penting untuk melihat praktik keseharian sebagai cerminan kerukunan. Tidak bisa dinafikan kalau intoleransi itu ada, tetapi masyarakat yang mau hidup berdampingan jauh lebih banyak. Ini adalah implementasi dari kecintaan terhadap Pancasila secara nyata.

"Kearifan itu nilai yang bersumber dari manapun. Sekarang jatidiri bangsa mulai mendapatkan tantangan, entah itu dalam bentuk ekstrimisme atas nama agama, atau lainnya. Nah, disinilah pentingnya kearifan. Dan local wisdom itu banyak sekali," tandasnya.

 

Baca juga : Ini Rangkaian Acara dan Zonasi Parkir di Apel Kebangsaan ‘Kita Merah Putih’


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu