Follow Us :              

Libatkan Nenek-nenek untuk Merawat River Tubing Pusur Adventure

  23 July 2019  |   08:00:00  |   dibaca : 2321 
Kategori :
Bagikan :


Libatkan Nenek-nenek untuk Merawat River Tubing Pusur Adventure

23 July 2019 | 08:00:00 | dibaca : 2321
Kategori :
Bagikan :

Foto : Vivi (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Vivi (Humas Jateng)

KAB. KLATEN - Kedatangan 3.500 hingga 5.000 wisatawan setiap bulan, telah membuat aktivitas warga Dukuh Jragan, Desa Wangen, Polanharjo, Klaten lebih padat sejak adzan subuh dikumandangkan. Maklum saja, semua lapisan usia terlibat dalam pengelolaan destinasi wisata andalan mereka River Tubing Pusur Adventure (RTPA), bahkan nenek-nenek sekalipun.

Mbah Sarinah misalnya. Perempuan berusia 63 tahun dengan tiga orang cucu itu usai salat subuh sudah harus menyiapkan peralatan "tempurnya" di dapur serta nge-list kebutuhan untuk menu masakan sesuai pesanan wisatawan. Dia pun tidak perlu berpusing ria, karena kebanyakan wisatawan nasional maupun internasional justru menghendaki menu masakan tradisional.
"Asem-asem, sup, gereh, sambal terasi, mendoan, bakwan, oseng-oseng kacang panjang, gudeg, pecel dan lain-lain. Kalau ayam penyet atau nasi kardus kata mereka (wisatawan) bisa dibeli di tempat lain. Mereka penginnya masakan ibu-ibu sini," kata perempuan yang biasa dipanggil Mbah Sar itu.

Sekitar tiga tahun keterlibatannya nyengkuyung RTPA membuatnya tidak lagi minder menyajikan menu-menu desa untuk wisatawan. Mbah Sar tidak sendirian, ada lima ibu-ibu yang jadi pasukannya, Anies (35) salah satunya. Menurut Anies, justru masakan ibu-ibu itu jadi daya tarik tersendiri yang dimiliki RTPA.
"Mulanya ya sendirian, tapi karena semakin ramai akhirnya ada lima ibu-ibu yang bantu. Bisa bergantian bergantung siapa yang luang," katanya.
PKK memang jadi salah satu sektor yang dilibatkan dalam pengelolaan wisata susur sungai Palur itu. Spirit ibu-ibu sengaja dihadirkan agar destinasi tersebut terjaga.
Kamad Abadi, Sekretaris RTPA mengatakan, semangat ibu-ibu dalam keikutsertaannya mengelola ini membuat yang lain tidak berani mengelak untuk diam diri, termasuk pemuda bahkan anak-anak.

"Ini pengelolanya semua warga sini. Semua berbagi peran, ada pemandu, juru parkir, pengantar, penjaga dan ibu-ibu yang bagian masak. Karena salah satu paket yang kami sediakan adalah dengan fasilitas makan siang," katanya.

Ada dua paket yang dimiliki RTPA, Rp 50 ribu dan Rp 70 ribu untuk mendapatkan fasilitas makan siang. Dengan dua paket itu, pendapatan perbulan yang diperoleh mencapai Rp 50 juta. Sebagai komunitas, RTPA memang jadi motor penggerak utamanya. Bagi hasilnya pun telah diciptakan sejak awal upaya pengembangan.
"Dari semua hasil, komunitas hanya mengambil Rp 15 ribu, sisanya dikelola oleh PKK, parkir, transportasi dari basecamp menuju lokasi start, dokumentasi yang semua dikelola warga serta retribusi RT" katanya.

Kamad mengisahkan, lahirnya RTPA memang diawali ketidaksadaran pemuda tentang destinasi wisata. Namun berkat kesadaran warga akan pentingnya kebersihan lingkungan, utamanya di sungai.
Ketika melakukan bersih-bersih itulah berkah berawal. Kami share foto-foto kegiatan gotong royong itu di media sosial. Boom. Lonjakan pengunjung semakin pesat.

"Itu kami lakukan sejak 2013. Namun efektif RTPA dibuka sejak 2015. Karena jangka dua tahun itu untuk gerakan cinta lingkungan serta kampanye jangan buang sampah dan BAB di sungai," katanya. 

Dengan gerakan yang kami lakukan itu kawan-kawan justru tertarik dan berniat datang hingga akhirnya viral. Kini wisatawan bisa menikmati kejernihan Sungai Pusur dengan tubing sejauh 1,5 km. Air yang jernih, bebatuan yang besar serta keteduhan pohon bambu membuat suasana semakin syahdu.

"Dan kini kami telah memiliki seratus set pelampung, helm, sepatu serta 120 ban serta anggota komunitas sebanyak 45 orang," katanya.


Bagikan :

KAB. KLATEN - Kedatangan 3.500 hingga 5.000 wisatawan setiap bulan, telah membuat aktivitas warga Dukuh Jragan, Desa Wangen, Polanharjo, Klaten lebih padat sejak adzan subuh dikumandangkan. Maklum saja, semua lapisan usia terlibat dalam pengelolaan destinasi wisata andalan mereka River Tubing Pusur Adventure (RTPA), bahkan nenek-nenek sekalipun.

Mbah Sarinah misalnya. Perempuan berusia 63 tahun dengan tiga orang cucu itu usai salat subuh sudah harus menyiapkan peralatan "tempurnya" di dapur serta nge-list kebutuhan untuk menu masakan sesuai pesanan wisatawan. Dia pun tidak perlu berpusing ria, karena kebanyakan wisatawan nasional maupun internasional justru menghendaki menu masakan tradisional.
"Asem-asem, sup, gereh, sambal terasi, mendoan, bakwan, oseng-oseng kacang panjang, gudeg, pecel dan lain-lain. Kalau ayam penyet atau nasi kardus kata mereka (wisatawan) bisa dibeli di tempat lain. Mereka penginnya masakan ibu-ibu sini," kata perempuan yang biasa dipanggil Mbah Sar itu.

Sekitar tiga tahun keterlibatannya nyengkuyung RTPA membuatnya tidak lagi minder menyajikan menu-menu desa untuk wisatawan. Mbah Sar tidak sendirian, ada lima ibu-ibu yang jadi pasukannya, Anies (35) salah satunya. Menurut Anies, justru masakan ibu-ibu itu jadi daya tarik tersendiri yang dimiliki RTPA.
"Mulanya ya sendirian, tapi karena semakin ramai akhirnya ada lima ibu-ibu yang bantu. Bisa bergantian bergantung siapa yang luang," katanya.
PKK memang jadi salah satu sektor yang dilibatkan dalam pengelolaan wisata susur sungai Palur itu. Spirit ibu-ibu sengaja dihadirkan agar destinasi tersebut terjaga.
Kamad Abadi, Sekretaris RTPA mengatakan, semangat ibu-ibu dalam keikutsertaannya mengelola ini membuat yang lain tidak berani mengelak untuk diam diri, termasuk pemuda bahkan anak-anak.

"Ini pengelolanya semua warga sini. Semua berbagi peran, ada pemandu, juru parkir, pengantar, penjaga dan ibu-ibu yang bagian masak. Karena salah satu paket yang kami sediakan adalah dengan fasilitas makan siang," katanya.

Ada dua paket yang dimiliki RTPA, Rp 50 ribu dan Rp 70 ribu untuk mendapatkan fasilitas makan siang. Dengan dua paket itu, pendapatan perbulan yang diperoleh mencapai Rp 50 juta. Sebagai komunitas, RTPA memang jadi motor penggerak utamanya. Bagi hasilnya pun telah diciptakan sejak awal upaya pengembangan.
"Dari semua hasil, komunitas hanya mengambil Rp 15 ribu, sisanya dikelola oleh PKK, parkir, transportasi dari basecamp menuju lokasi start, dokumentasi yang semua dikelola warga serta retribusi RT" katanya.

Kamad mengisahkan, lahirnya RTPA memang diawali ketidaksadaran pemuda tentang destinasi wisata. Namun berkat kesadaran warga akan pentingnya kebersihan lingkungan, utamanya di sungai.
Ketika melakukan bersih-bersih itulah berkah berawal. Kami share foto-foto kegiatan gotong royong itu di media sosial. Boom. Lonjakan pengunjung semakin pesat.

"Itu kami lakukan sejak 2013. Namun efektif RTPA dibuka sejak 2015. Karena jangka dua tahun itu untuk gerakan cinta lingkungan serta kampanye jangan buang sampah dan BAB di sungai," katanya. 

Dengan gerakan yang kami lakukan itu kawan-kawan justru tertarik dan berniat datang hingga akhirnya viral. Kini wisatawan bisa menikmati kejernihan Sungai Pusur dengan tubing sejauh 1,5 km. Air yang jernih, bebatuan yang besar serta keteduhan pohon bambu membuat suasana semakin syahdu.

"Dan kini kami telah memiliki seratus set pelampung, helm, sepatu serta 120 ban serta anggota komunitas sebanyak 45 orang," katanya.


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu