Follow Us :              

Banyak Istri Pejabat Publik yang Masih Bingung Gratifikasi

  07 March 2017  |   11:00:00  |   dibaca : 883 
Kategori :
Bagikan :


Banyak Istri Pejabat Publik yang Masih Bingung Gratifikasi

07 March 2017 | 11:00:00 | dibaca : 883
Kategori :
Bagikan :

Foto : (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : (Humas Jateng)

Surakarta - Pejabat publik sangat mudah terjerat kasus korupsi lantaran bibit praktik korupsi bisa masuk dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Perlu pencegah di dalam keluarga, agar praktik korupsi dapat dihalau.

 

 

 

Pencegah itu adalah ibu. Sebab, ibu merupakan sosok yang memegang peran penting dalam pendidikan moral keluarga. Mereka juga peka dan mampu mengoreksi para suaminya untuk tidak melakukan penyimpangan yang berujung pada kasus korupsi.

 

Sayangnya, tidak semua ibu paham tentang kategori-kategori korupsi, terutama menyangkut gratifikasi kepada pejabat publik. Hal tersebut terungkap saat kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Integritas dan Gerakan Antikorupsi yang dilakukan oleh Gerakan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), bekerja sama dengan TP PKK Provinsi Jawa Tengah, Jaringan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Jawa Tengah dan KPK di Joglo Loji Gandrung, Selasa (7/3). Sosialisasi ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang perempuan dari berbagai organisasi wanita se-eks Keresidenan Surakarta.

 

Dalam sosialisasi tersebut banyak istri bupati/walikota di eks Karesidenan Soloraya mengungkapkan ketidaktahuannya terhadap jenis-jenis pemberian oleh orang lain yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Sehingga mereka merasa was-was saat akan menerima pemberian tersebut. Salah satunya seperti diungkapkan Rina, Ketua Persatuan Bhayangkari Kota Semarang yang juga istri Kapolresta Surakarta. Dia ingin memberikan souvenir perpisahan kepada Muspida Surakarta. karena suaminya akan berpindah tugas ke Lemhannas Tapi dirinya khawatir, pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.

 

"Suami saya akan pindah, kami mau memberikan souvenir ucapan perpisahan dan kenang-kenangan kepada Muspida, apa itu termasuk gratifikasi?" tanyanya.

 

Ketua TP PKK Karanganyar Siti Chomsya Juliyatmono juga mengatakan, dia sering kali menerima tamu yang memintanya untuk membantu mutasi jabatan. Meski selalu disarankan untuk mengikuti prosedur yang berlaku, namun para tamu tersebut justru memberikan bingkisan berupa kue yang dikirim ke rumah pribadinya tanpa sepengetahuannya. Sehingga, dia takut jika hal tersebut dikategorikan sebagai gratifikasi. Sementara itu, Ketua TP PKK Sukoharjo Etty Wardoyo juga meminta penjelasan batasan nominal pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, agar nantinya dia dan keluarga tidak terjerat praktik korupsi.

 

"Saya ingin tahu pakem dan patokannya senilai seberapakah yang termasuk gratifikasi itu," pintanya.

 

Mendengar pertanyaan mengenai gratifikasi, Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Siti Atikoh Ganjar Pranowo yang menjadi narasumber kunci dalam sosialisasi tersebut mengatakan, masyarakat memang seringkali bingung soal kategori gratifikasi. Sebab, dipengaruhi pula oleh faktor kultur, dimana di beberapa daerah, pemberian sulit ditolak. Sehingga saat ini sedang dirancang peraturan pemerintah (PP) mengenai gratifikasi agar nantinya tidak ada lagi kebingungan di tengah masyarakat.

 

Atikoh juga menjelaskan bahwa pemberian barang yang tidak dikategorikan sebagai gratifikasi adalah barang dengan nominal maksimal Rp 1 juta. Sementara untuk pemberian makanan boleh diterima, asalkan dibagikan kepada yang membutuhkan dan harus dilengkapi dengan foto sebagai bukti.

 

"Agar lebih aman kalau saya ketika mendapatkan sesuatu, tetap saya laporkan kepada inspektorat," katanya.

 

Di dalam sosialisasi tersebut istri Gubernur Ganjar Pranowo ini juga mengajak perempuan, khususnya ibu untuk mulai berubah dan menanamkan nilai-nilai integritas pada diri mereka sendiri ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, nilai-nilai integritas dapat menular kepada keluarga sampai ke jaringan masyarakat yang lebih luas.

 

Menurut hasil riset KPK, dalam kurun waktu 2012-2013 lalu, baru 4 persen orang tua yang mengajarkan anak-anaknya nilai-nilai kejujuran. Sehingga Gerakan SPAK ini diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan penanaman nilai-nilai integritas yang dapat mencegah praktik-praktik korupsi.

 

"Kalau kita tidak berubah dulu, bagaimana bisa merubah orang lain? Makanya untuk menanamkan nilai-nilai integritas kepada anak-anak dan suami-suami kita, kita harus mengamalkannya terlebih dulu di dalam keseharian," ujarnya.

 

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang ikut hadir dalam sosialisasi SPAK juga memberikan pemahaman kepada peserta sosialisasi terkait korupsi dan gratifikasi. Menurutnya, praktik-praktik korupsi bisa masuk ke dalam semua lini kehidupan. Makanya pencegahan harus dilakukan sedini mungkin.

 

Pelibatan perempuan di dalam pencegahan korupsi karena selain tokoh sentral di dalam pemberian pendidikan moral keluarga, mereka juga memiliki sensor yang sangat peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalam keluarga. Sehingga mereka dapat mengoreksi penyimpangan tersebut.

 

"Peran ibu-ibu itu mengoreksi suaminya karena mereka punya sensor yang sangat peka jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh suami," katanya.

 

Sedangkan terkait kategori gratifikasi, Saut menjelaskan, adalah pemberian yang belum jelas niat dan tujuannya. Sehingga untuk mencegah terjadinya gratifikasi, masyarakat harus memahami tata kelola dan standar pengelolaan uang dengan jelas, agar bisa mengontrolnya.

 

 


Bagikan :

Surakarta - Pejabat publik sangat mudah terjerat kasus korupsi lantaran bibit praktik korupsi bisa masuk dari lingkungan yang paling kecil, yaitu keluarga. Perlu pencegah di dalam keluarga, agar praktik korupsi dapat dihalau.

 

 

 

Pencegah itu adalah ibu. Sebab, ibu merupakan sosok yang memegang peran penting dalam pendidikan moral keluarga. Mereka juga peka dan mampu mengoreksi para suaminya untuk tidak melakukan penyimpangan yang berujung pada kasus korupsi.

 

Sayangnya, tidak semua ibu paham tentang kategori-kategori korupsi, terutama menyangkut gratifikasi kepada pejabat publik. Hal tersebut terungkap saat kegiatan Sosialisasi Nilai-Nilai Integritas dan Gerakan Antikorupsi yang dilakukan oleh Gerakan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK), bekerja sama dengan TP PKK Provinsi Jawa Tengah, Jaringan Saya Perempuan Anti Korupsi (SPAK) Jawa Tengah dan KPK di Joglo Loji Gandrung, Selasa (7/3). Sosialisasi ini dihadiri oleh lebih dari 200 orang perempuan dari berbagai organisasi wanita se-eks Keresidenan Surakarta.

 

Dalam sosialisasi tersebut banyak istri bupati/walikota di eks Karesidenan Soloraya mengungkapkan ketidaktahuannya terhadap jenis-jenis pemberian oleh orang lain yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Sehingga mereka merasa was-was saat akan menerima pemberian tersebut. Salah satunya seperti diungkapkan Rina, Ketua Persatuan Bhayangkari Kota Semarang yang juga istri Kapolresta Surakarta. Dia ingin memberikan souvenir perpisahan kepada Muspida Surakarta. karena suaminya akan berpindah tugas ke Lemhannas Tapi dirinya khawatir, pemberian tersebut dapat dikategorikan sebagai gratifikasi.

 

"Suami saya akan pindah, kami mau memberikan souvenir ucapan perpisahan dan kenang-kenangan kepada Muspida, apa itu termasuk gratifikasi?" tanyanya.

 

Ketua TP PKK Karanganyar Siti Chomsya Juliyatmono juga mengatakan, dia sering kali menerima tamu yang memintanya untuk membantu mutasi jabatan. Meski selalu disarankan untuk mengikuti prosedur yang berlaku, namun para tamu tersebut justru memberikan bingkisan berupa kue yang dikirim ke rumah pribadinya tanpa sepengetahuannya. Sehingga, dia takut jika hal tersebut dikategorikan sebagai gratifikasi. Sementara itu, Ketua TP PKK Sukoharjo Etty Wardoyo juga meminta penjelasan batasan nominal pemberian yang dapat dikategorikan sebagai gratifikasi, agar nantinya dia dan keluarga tidak terjerat praktik korupsi.

 

"Saya ingin tahu pakem dan patokannya senilai seberapakah yang termasuk gratifikasi itu," pintanya.

 

Mendengar pertanyaan mengenai gratifikasi, Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Siti Atikoh Ganjar Pranowo yang menjadi narasumber kunci dalam sosialisasi tersebut mengatakan, masyarakat memang seringkali bingung soal kategori gratifikasi. Sebab, dipengaruhi pula oleh faktor kultur, dimana di beberapa daerah, pemberian sulit ditolak. Sehingga saat ini sedang dirancang peraturan pemerintah (PP) mengenai gratifikasi agar nantinya tidak ada lagi kebingungan di tengah masyarakat.

 

Atikoh juga menjelaskan bahwa pemberian barang yang tidak dikategorikan sebagai gratifikasi adalah barang dengan nominal maksimal Rp 1 juta. Sementara untuk pemberian makanan boleh diterima, asalkan dibagikan kepada yang membutuhkan dan harus dilengkapi dengan foto sebagai bukti.

 

"Agar lebih aman kalau saya ketika mendapatkan sesuatu, tetap saya laporkan kepada inspektorat," katanya.

 

Di dalam sosialisasi tersebut istri Gubernur Ganjar Pranowo ini juga mengajak perempuan, khususnya ibu untuk mulai berubah dan menanamkan nilai-nilai integritas pada diri mereka sendiri ke dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, nilai-nilai integritas dapat menular kepada keluarga sampai ke jaringan masyarakat yang lebih luas.

 

Menurut hasil riset KPK, dalam kurun waktu 2012-2013 lalu, baru 4 persen orang tua yang mengajarkan anak-anaknya nilai-nilai kejujuran. Sehingga Gerakan SPAK ini diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan penanaman nilai-nilai integritas yang dapat mencegah praktik-praktik korupsi.

 

"Kalau kita tidak berubah dulu, bagaimana bisa merubah orang lain? Makanya untuk menanamkan nilai-nilai integritas kepada anak-anak dan suami-suami kita, kita harus mengamalkannya terlebih dulu di dalam keseharian," ujarnya.

 

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang ikut hadir dalam sosialisasi SPAK juga memberikan pemahaman kepada peserta sosialisasi terkait korupsi dan gratifikasi. Menurutnya, praktik-praktik korupsi bisa masuk ke dalam semua lini kehidupan. Makanya pencegahan harus dilakukan sedini mungkin.

 

Pelibatan perempuan di dalam pencegahan korupsi karena selain tokoh sentral di dalam pemberian pendidikan moral keluarga, mereka juga memiliki sensor yang sangat peka terhadap penyimpangan-penyimpangan yang ada di dalam keluarga. Sehingga mereka dapat mengoreksi penyimpangan tersebut.

 

"Peran ibu-ibu itu mengoreksi suaminya karena mereka punya sensor yang sangat peka jika terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh suami," katanya.

 

Sedangkan terkait kategori gratifikasi, Saut menjelaskan, adalah pemberian yang belum jelas niat dan tujuannya. Sehingga untuk mencegah terjadinya gratifikasi, masyarakat harus memahami tata kelola dan standar pengelolaan uang dengan jelas, agar bisa mengontrolnya.

 

 


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu