Follow Us :              

Prof Masrukhi: Puasa Itu Menyeimbangkan Kehidupan

  09 May 2019  |   13:00:00  |   dibaca : 556 
Kategori :
Bagikan :


Prof Masrukhi: Puasa Itu Menyeimbangkan Kehidupan

09 May 2019 | 13:00:00 | dibaca : 556
Kategori :
Bagikan :

Foto : Slam (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Slam (Humas Jateng)

SEMARANG - Kemajuan yang diperoleh dalam era modern ini dipandang justru jadi penghambat psikologis seseorang. Agar antara perkembangan teknologi dan kondisi psikologis bisa saling beriring, diperlukan sebuah dorongan laku spiritual, puasa salah satunya. 

Laku spiritual dipandang tepat untuk menjawab ketimpangan yang dialami psikis karena pengaruh teknologi. Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) Prof Masrukhi mengatakan, laku spiritual yang tepat mengatasi kondisi seperti itu adalah puasa. 

"Puasa itu menjadikan kita agar semakin berpikir filosofis, bisa melahirkan anggapan bahwa semakin abstrak yang kita butuhkan. Karena puasa itu satu-satunya peribadatan yang tidak bisa dipamerkan. Berbeda dengan salat atau ibadah lainnya," katanya, Kamis (9/5/2019). 

Di era modern ini, lanjut dia, banyak manusia yang terhambat pada kepribadian kanak-kanak. Dia menjelaskan, berdasar pemahaman empu ilmu psikologi, Sigmund Freud fase kepribadian itu terbagi jadi empat, yakni bayi, kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dan semua fase itu memiliki kecenderungan kebahagiaan yang berbeda. 

"Fase kanak-kanak, misalnya kebahagiaannya terletak di mulut. Inilah yang dinamakan fase oral yang dialami manusia pada usia 0-5 bulan. Itu bisa kita buktikan, bayi dikasih apapun pasti dimasukkan ke mulut, karena kenikmatan yang dia punya ada di mulut," katanya. 

Sementara, pada usia 1-3 tahun kenikmatannya sudah mengalami perubahan, inikah fase dubur. Dan pada usia remaja, orang akan masuk pada fase kenikmatan di alat kelamin. 

"Jika manusia dewasa hanya mencari kenikmatan oral, dubur maupun kelamin, berarti kondisi psikologisnya terhambat dan kembali pada masa dia remaja atau bahkan bayi," paparnya. 

Bahkan lebih ekstrim, Masrukhi menjelaskan manusia dewasa bisa saja terperangkap pada fase anal. Ciri-cirinya dia yang selalu menikmati tumpukan harta benda dan jabatan. Karena bagi Freud kekayaan itu adalah kotoran. 

"Tapi jika orang dewasa hanya menuruti syahwat, berarti dia terperangkap genital. Nyatanya di kota, tumbuh sangat subur untuk mencukupi tiga fase itu. Tidak heran, orang-orang dewasa kembali pada fase kanak-kanak," tukasnya. 

Padahal, lanjut Masrukhi, pada usia dewasa semestinya fase yang dialami orang adalah merasakan kenikmatan spritual ketika beribadah, zikir atau laku spiritual lain yang akhirnya juga menumbuhkan laku sosialnya. 

"Agar apa? Agar la'allakum tattaqun (agar kamu sekalian bertakwa) dan inilah orientasi pelaksanaan puasa. Mari ibadah puasa ini kita nikmati agar seluruh potensi kemanusiaan kita ini terasah betul. Agar kelak kesalehan ritual dan sosial kita benar-benar tercapai," pungkasnya.

 

Baca juga : Beberkan Makna Filosofis Dugderan, Ianah Dihadiahi Ganjar Rp1 Juta


Bagikan :

SEMARANG - Kemajuan yang diperoleh dalam era modern ini dipandang justru jadi penghambat psikologis seseorang. Agar antara perkembangan teknologi dan kondisi psikologis bisa saling beriring, diperlukan sebuah dorongan laku spiritual, puasa salah satunya. 

Laku spiritual dipandang tepat untuk menjawab ketimpangan yang dialami psikis karena pengaruh teknologi. Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) Prof Masrukhi mengatakan, laku spiritual yang tepat mengatasi kondisi seperti itu adalah puasa. 

"Puasa itu menjadikan kita agar semakin berpikir filosofis, bisa melahirkan anggapan bahwa semakin abstrak yang kita butuhkan. Karena puasa itu satu-satunya peribadatan yang tidak bisa dipamerkan. Berbeda dengan salat atau ibadah lainnya," katanya, Kamis (9/5/2019). 

Di era modern ini, lanjut dia, banyak manusia yang terhambat pada kepribadian kanak-kanak. Dia menjelaskan, berdasar pemahaman empu ilmu psikologi, Sigmund Freud fase kepribadian itu terbagi jadi empat, yakni bayi, kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dan semua fase itu memiliki kecenderungan kebahagiaan yang berbeda. 

"Fase kanak-kanak, misalnya kebahagiaannya terletak di mulut. Inilah yang dinamakan fase oral yang dialami manusia pada usia 0-5 bulan. Itu bisa kita buktikan, bayi dikasih apapun pasti dimasukkan ke mulut, karena kenikmatan yang dia punya ada di mulut," katanya. 

Sementara, pada usia 1-3 tahun kenikmatannya sudah mengalami perubahan, inikah fase dubur. Dan pada usia remaja, orang akan masuk pada fase kenikmatan di alat kelamin. 

"Jika manusia dewasa hanya mencari kenikmatan oral, dubur maupun kelamin, berarti kondisi psikologisnya terhambat dan kembali pada masa dia remaja atau bahkan bayi," paparnya. 

Bahkan lebih ekstrim, Masrukhi menjelaskan manusia dewasa bisa saja terperangkap pada fase anal. Ciri-cirinya dia yang selalu menikmati tumpukan harta benda dan jabatan. Karena bagi Freud kekayaan itu adalah kotoran. 

"Tapi jika orang dewasa hanya menuruti syahwat, berarti dia terperangkap genital. Nyatanya di kota, tumbuh sangat subur untuk mencukupi tiga fase itu. Tidak heran, orang-orang dewasa kembali pada fase kanak-kanak," tukasnya. 

Padahal, lanjut Masrukhi, pada usia dewasa semestinya fase yang dialami orang adalah merasakan kenikmatan spritual ketika beribadah, zikir atau laku spiritual lain yang akhirnya juga menumbuhkan laku sosialnya. 

"Agar apa? Agar la'allakum tattaqun (agar kamu sekalian bertakwa) dan inilah orientasi pelaksanaan puasa. Mari ibadah puasa ini kita nikmati agar seluruh potensi kemanusiaan kita ini terasah betul. Agar kelak kesalehan ritual dan sosial kita benar-benar tercapai," pungkasnya.

 

Baca juga : Beberkan Makna Filosofis Dugderan, Ianah Dihadiahi Ganjar Rp1 Juta


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu