Foto : Bintoro (Humas Jateng)
Foto : Bintoro (Humas Jateng)
SEMARANG - Pertunjukan kesenian wayang bukan sekadar tontonan atau hiburan, lebih dari itu dalam cerita pewayangan sarat dengan tuntunan yang mengarahkan manusia untuk berlaku baik dan bijaksana, serta tatanan berbagai kisah bagaimana seharusnya laku hidup manusia.
"Wayang itu sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan. Jangan hanya ditonton lucunya atau karena menghibur. Tetapi subtansi dari alur ceritanya yang sarat dengan tuntunan dan menjadi tatanan dalam kehidupan sehari-hari," kata Sekda Jateng Sri Puryono di sela pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandawa di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (6/7/2019) malam.
Dalam pertunjukan wayang, lanjutnya, alur cerita sarat dengan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berbagai pesan kebaikan pun selalu disampaikan. Sehingga pertunjukan wayang merupakan tontonan gambaran tentang kehidupan manusia dan alam semesta yang mengandung tuntunan untuk memahami tatanan.
Pagelaran wayang orang berjudul "Tahta Astinapura" dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-82 Ngesti Pandawa tersebut, dimeriahkan oleh para tokoh-tokoh dari berbagai kalangan. Baik pejabat pemerintahan, akademisi, profesional, perbankan, maupun masyarakat umum.
Di antaranya Sekda Jateng Sri Puryono, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jateng Soekowardojo, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jateng Brigjen Pol Benny Gunawan, dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Jateng Agus Wariyanto.
Sekda yang juga Penasihat Wayang Orang Ngesti Pandawa berharap agar semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, maulun pelaku seni untuk terus melestarikan wayang, kethoprak, serta bermacam kesenian tradisional khas Jawa Tengah. Terlebih di Jateng telah ada Peraturan Daerah No 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa serta Peraturan Gubernur Jateng No 57 Tahun 2013.
"Karenanya setiap Kamis di pemerintahan untuk menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dan setiap tanggal 15 pejabat dan staf di lingkungan Pemprov Jateng mengenakan busana adat Jateng. Kebijakan ini sebagai upaya nguri-nguri kebudayaan asli daerah," jelasnya.
Ia menegaskan, memasuki usia 82 tahun Ngesti Pandawa semua harus berupaya membangkitkan kembali Wayang Orang Ngesti Pandawa. Sehingga kedepan budaya adiluhung yang ada di Jateng tersebut tidak surut apalagi hilang tergerus budaya luar. Karenanya semua pihak, termasuk generasi muda bangsa harus ikut menjaga sekaligus melestarikan budaya asli daerah.
Sekda yang berperan sebagai Kresna bersama para tokoh lainnya tampil memukau. Pementasan "Tahta Astinapura" mengisahkan tentang perjuangan Pandawa untuk menegakkan kebenaran dan menumpas angkaramurka berlangsung apik dan menawan. Para penonton yang memenuhi kursi dan berdiri di sekitar panggung, tampak serius menyimak adegan demi adegan yang ditampilkan para pemain.
Tepuk tangan pun riuh terdengar ketika perang Bharatayudha usai dan dimenangkan Pandawa. Perang besar demi pengabdian kepada keadilan, dan perang suci penebus janji. Medan laga yang menjadi saksi musnahnya angkara murka di muka bumi, termasuk Sengkuni yang licik dan Duryudana yang takut akan kekalahan pergi ke kediaman ibunya, Gendari.
Baca juga : Perankan "Prabu Kresna," Ini Petuah Sekda Sri Puryono
SEMARANG - Pertunjukan kesenian wayang bukan sekadar tontonan atau hiburan, lebih dari itu dalam cerita pewayangan sarat dengan tuntunan yang mengarahkan manusia untuk berlaku baik dan bijaksana, serta tatanan berbagai kisah bagaimana seharusnya laku hidup manusia.
"Wayang itu sebagai tontonan, tuntunan dan tatanan. Jangan hanya ditonton lucunya atau karena menghibur. Tetapi subtansi dari alur ceritanya yang sarat dengan tuntunan dan menjadi tatanan dalam kehidupan sehari-hari," kata Sekda Jateng Sri Puryono di sela pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandawa di Gedung Ki Narto Sabdo, Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang, Sabtu (6/7/2019) malam.
Dalam pertunjukan wayang, lanjutnya, alur cerita sarat dengan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Berbagai pesan kebaikan pun selalu disampaikan. Sehingga pertunjukan wayang merupakan tontonan gambaran tentang kehidupan manusia dan alam semesta yang mengandung tuntunan untuk memahami tatanan.
Pagelaran wayang orang berjudul "Tahta Astinapura" dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ke-82 Ngesti Pandawa tersebut, dimeriahkan oleh para tokoh-tokoh dari berbagai kalangan. Baik pejabat pemerintahan, akademisi, profesional, perbankan, maupun masyarakat umum.
Di antaranya Sekda Jateng Sri Puryono, Kepala Bank Indonesia Perwakilan Jateng Soekowardojo, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jateng Brigjen Pol Benny Gunawan, dan Kepala Badan Ketahanan Pangan Jateng Agus Wariyanto.
Sekda yang juga Penasihat Wayang Orang Ngesti Pandawa berharap agar semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, maulun pelaku seni untuk terus melestarikan wayang, kethoprak, serta bermacam kesenian tradisional khas Jawa Tengah. Terlebih di Jateng telah ada Peraturan Daerah No 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa serta Peraturan Gubernur Jateng No 57 Tahun 2013.
"Karenanya setiap Kamis di pemerintahan untuk menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi dan setiap tanggal 15 pejabat dan staf di lingkungan Pemprov Jateng mengenakan busana adat Jateng. Kebijakan ini sebagai upaya nguri-nguri kebudayaan asli daerah," jelasnya.
Ia menegaskan, memasuki usia 82 tahun Ngesti Pandawa semua harus berupaya membangkitkan kembali Wayang Orang Ngesti Pandawa. Sehingga kedepan budaya adiluhung yang ada di Jateng tersebut tidak surut apalagi hilang tergerus budaya luar. Karenanya semua pihak, termasuk generasi muda bangsa harus ikut menjaga sekaligus melestarikan budaya asli daerah.
Sekda yang berperan sebagai Kresna bersama para tokoh lainnya tampil memukau. Pementasan "Tahta Astinapura" mengisahkan tentang perjuangan Pandawa untuk menegakkan kebenaran dan menumpas angkaramurka berlangsung apik dan menawan. Para penonton yang memenuhi kursi dan berdiri di sekitar panggung, tampak serius menyimak adegan demi adegan yang ditampilkan para pemain.
Tepuk tangan pun riuh terdengar ketika perang Bharatayudha usai dan dimenangkan Pandawa. Perang besar demi pengabdian kepada keadilan, dan perang suci penebus janji. Medan laga yang menjadi saksi musnahnya angkara murka di muka bumi, termasuk Sengkuni yang licik dan Duryudana yang takut akan kekalahan pergi ke kediaman ibunya, Gendari.
Baca juga : Perankan "Prabu Kresna," Ini Petuah Sekda Sri Puryono
Berita Terbaru