Follow Us :              

Melestarikan Batik Pewarna Alam Khas Kampung Malon

  11 January 2019  |   10:45:00  |   dibaca : 4063 
Kategori :
Bagikan :


Melestarikan Batik Pewarna Alam Khas Kampung Malon

11 January 2019 | 10:45:00 | dibaca : 4063
Kategori :
Bagikan :

Foto : Sigit (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Sigit (Humas Jateng)

SEMARANG - Selembar batik bukan hanya berfungsi sebagai alat penutup tubuh. Di tangan pasangan suami istri (pasutri) Marheno Jayanto dan Zalzilah, warisan kain tradisional atau biasa disebut wastra ini dikembangkan menjadi produk ramah lingkungan. Bahkan desainnya mengangkat kisah legenda maupun cerita-cerita rakyat yang ada di seantero Nusantara.

"Kebetulan saya ini kan tinggal di kampung. Ada banyak sekali sisa serbuk gergaji kayu, propagule (buah) mangrove, kulit mahoni, hingga tanah bengkok yang menganggur untuk kita tanam indigovera. Jadi ketimbang menggunakan bahan pewarna sintesis yang pastinya di kemudian hari bermasalah, kita memilih kembali ke alam," ujar Zalzilah atau akrab disapa Zie, Jumat (11/1/2019).


Pasutri pemilik usaha Zie Batik yang beralamat di Kampung Malon RT 03/RW 06 Kelurahan Gunungpati, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang ini bukanlah warga asli setempat. Keduanya datang ke Semarang bermula saat mengajar membatik untuk mengembangkan motif-motif khas Semarangan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Semarang.

"Kami sebelumnya tinggal di Depok (Jawa Barat). Awal 2006 mengajar batik pewarna alam keliling di Semarang. Sedangkan kalau pindah ke sini baru 2010. Karena niatan awal kita memang mengembangkan batik motif Semarang," beber Zie, seraya memamerkan foto mengikuti ajang "Indonesia Kain Party 2018" di Accessories Museum Tokyo, Jepang, pada April tahun lalu.

Selain memanfaatkan bahan baku pewarna alam, Zie Batik juga memiliki koleksi wastra batik dengan menghidupkan kembali kisah-kisah legenda Nusantara. Dengan menggunakan teknik batik tulis dan painting, cerita rakyat seperti Sangkuriang, epos Mahabharata, hingga sejarah berdirinya Gunungpati divisualisasikan dalam selembar batik berukuran 2,5 meter.

Putri sulung sekaligus social media specialist Zie Batik, Sasi Syifa Urohmi, 25, menambahkan, para perajin batik zaman dahulu pasti memiliki pesan atau makna filosofis di setiap motif hasil goresan cantingnya. Pasalnya, tanpa menyelipkan pesan, selembar batik akan kehilangan ruh atau nyawa sebagai warisan budaya Indonesia. Apalagi, proses pembuatan batik melalui campur tangan dan hasil keringat dari lebih satu orang.

"Kita enggak hanya bikin batik, tetapi ada misi tersendiri menceritakan kembali cerita- cerita rakyat maupun legenda yang mulai dilupakan masyarakat. Seperti batik bermotif Sekar Jagad yang mengisahkan Bima Sakti, salah satu tokoh Pandawa ini. Dibuat 2015 lalu, proses pembuatannya sekitar tiga bulan dengan menggunakan pewarna daun indigovera dan jelawe," bebernya menunjukan wastra limited edition dibanderol Rp15 juta tersebut.

Nah, bagi yang penasaran dengan Zie Batik dapat mengunjungi kawasan wisata bernama Kampung Alam Malon. Kampung dengan atmosfer suasana pedesaan yang masih banyak dikelilingi pepohonan itu, juga terdapat empat kelompok ibu-ibu pembatik lainnya, yakni Batik Delima, Batik Kristal, Batik Manggis dan Batik Citra. 

"Kita memiliki sekitar enam hektar lahan yang siap digunakan kelompok tani untuk pembibitan, penanaman hingga pembuatan pasta pewarna alam. Karena sekarang ini kan era go green. Otomatis Kita berkutat di lingkungan sekitar sekaligus menghasilkan secara ekonomis," timpal Zie, mengakhiri obrolan.
 


Bagikan :

SEMARANG - Selembar batik bukan hanya berfungsi sebagai alat penutup tubuh. Di tangan pasangan suami istri (pasutri) Marheno Jayanto dan Zalzilah, warisan kain tradisional atau biasa disebut wastra ini dikembangkan menjadi produk ramah lingkungan. Bahkan desainnya mengangkat kisah legenda maupun cerita-cerita rakyat yang ada di seantero Nusantara.

"Kebetulan saya ini kan tinggal di kampung. Ada banyak sekali sisa serbuk gergaji kayu, propagule (buah) mangrove, kulit mahoni, hingga tanah bengkok yang menganggur untuk kita tanam indigovera. Jadi ketimbang menggunakan bahan pewarna sintesis yang pastinya di kemudian hari bermasalah, kita memilih kembali ke alam," ujar Zalzilah atau akrab disapa Zie, Jumat (11/1/2019).


Pasutri pemilik usaha Zie Batik yang beralamat di Kampung Malon RT 03/RW 06 Kelurahan Gunungpati, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang ini bukanlah warga asli setempat. Keduanya datang ke Semarang bermula saat mengajar membatik untuk mengembangkan motif-motif khas Semarangan oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Semarang.

"Kami sebelumnya tinggal di Depok (Jawa Barat). Awal 2006 mengajar batik pewarna alam keliling di Semarang. Sedangkan kalau pindah ke sini baru 2010. Karena niatan awal kita memang mengembangkan batik motif Semarang," beber Zie, seraya memamerkan foto mengikuti ajang "Indonesia Kain Party 2018" di Accessories Museum Tokyo, Jepang, pada April tahun lalu.

Selain memanfaatkan bahan baku pewarna alam, Zie Batik juga memiliki koleksi wastra batik dengan menghidupkan kembali kisah-kisah legenda Nusantara. Dengan menggunakan teknik batik tulis dan painting, cerita rakyat seperti Sangkuriang, epos Mahabharata, hingga sejarah berdirinya Gunungpati divisualisasikan dalam selembar batik berukuran 2,5 meter.

Putri sulung sekaligus social media specialist Zie Batik, Sasi Syifa Urohmi, 25, menambahkan, para perajin batik zaman dahulu pasti memiliki pesan atau makna filosofis di setiap motif hasil goresan cantingnya. Pasalnya, tanpa menyelipkan pesan, selembar batik akan kehilangan ruh atau nyawa sebagai warisan budaya Indonesia. Apalagi, proses pembuatan batik melalui campur tangan dan hasil keringat dari lebih satu orang.

"Kita enggak hanya bikin batik, tetapi ada misi tersendiri menceritakan kembali cerita- cerita rakyat maupun legenda yang mulai dilupakan masyarakat. Seperti batik bermotif Sekar Jagad yang mengisahkan Bima Sakti, salah satu tokoh Pandawa ini. Dibuat 2015 lalu, proses pembuatannya sekitar tiga bulan dengan menggunakan pewarna daun indigovera dan jelawe," bebernya menunjukan wastra limited edition dibanderol Rp15 juta tersebut.

Nah, bagi yang penasaran dengan Zie Batik dapat mengunjungi kawasan wisata bernama Kampung Alam Malon. Kampung dengan atmosfer suasana pedesaan yang masih banyak dikelilingi pepohonan itu, juga terdapat empat kelompok ibu-ibu pembatik lainnya, yakni Batik Delima, Batik Kristal, Batik Manggis dan Batik Citra. 

"Kita memiliki sekitar enam hektar lahan yang siap digunakan kelompok tani untuk pembibitan, penanaman hingga pembuatan pasta pewarna alam. Karena sekarang ini kan era go green. Otomatis Kita berkutat di lingkungan sekitar sekaligus menghasilkan secara ekonomis," timpal Zie, mengakhiri obrolan.
 


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu