Foto : Vivi (Humas Jateng)
Foto : Vivi (Humas Jateng)
SEMARANG - Perayaan Imlek di kawasan Pecinan Kota Semarang, tepatnya di sepanjang Gang Pinggir sampai Jalan Wotgandul Timur, menjadi langganan tetap Alfasah Kuswara, 28, untuk menjajakan mainan barongsai mini. Dia mengaku sudah tiga tahun terakhir mengais rezeki di tempat yang dikenal dengan sebutan Pasar Imlek Semawis itu.
Padahal, ayah satu orang putri yang akrab disapa Alfa ini datang jauh dari Kota Cirebon, Jawa Barat. Bahkan, dia datang bersama dua orang temannya sejak Kamis (31/1) malam dengan menumpang bus ke Semarang. Baginya, perayaan tahun baru Imlek di Semarang dinilai berpotensi mendatangkan pundi-pundi rupiah.
"Selain acara Pasar Imlek Semawis, di Semarang juga ada Klenteng Sam Po Kong. Maka kami bertiga kalau pagi sampai siang jualan di Sam Poo Kong, baru sore hingga malamnya di sini. Sedangkan tidurnya ya di stan-stan kosong yang ada di sini," ujarnya, Sabtu (2/2/2019).
Alfa tahu betul bagaimana mencari lokasi strategis untuk menjajakan dagangannya. Menempati persis di sebelah panggung pertunjukan Wayang Potehi, mainan berbahan baku bulu boneka buatan pengrajin asal Kampung Tegalan, Desa/Kecamatan Jamblang, Cirebon, itu tampak mencolok.
Deretan kursi di depan panggung Wayang Potehi yang menjadi salah satu ciri khas Pasar Imlek Semawis masih terlihat lengang. Pasalnya, tirai di panggung berbentuk kotak didominasi warna merah mirip food truck itu masih ditutup dan baru dimainkan pada petang. Sehingga, sejumlah orangtua dengan membawa anak-anaknya mengerubungi dagangan Alfa.
"Untuk barongsai biasa kita jual Rp20 ribu, kalau yang bisa menyala ada lampunya dijual Rp25 ribu. Keuntungan tiap satu biji mainan sekitar Rp7.000. Sedangkan kemarin kita bawa empat karung yang masing-masing karung berisi 300 sampai 400 barongsai mini. Mudah-mudahan Imlek tahun ini bisa kembali laris, dapur tetap kembali mengebul," harap Alfa, di mana pada momen pergantian Tahun Baru 2019 berjualan terompet di Jakarta.
Di sudut lain, tepatnya di seberang Kelenteng Siu Hok Bio yang terletak di pertigaan "tusuk sate" antara Jalan Wotgandul Timur dan Jalan Gang Baru, Desi Kristiani, 36, menjajakan aneka kue khas Imlek. Diwadahi tampah anyaman bambu, dia berjualan kue mangkok, kue ku (kura-kura merah) hingga bakpao.
"Yang bikin kakak saya sendiri. Saya hanya menjualkan saja ketimbang menganggur di rumah. Untuk kue mangkok bahannya tepung beras, bakpao merah isinya kacang ijo, kalau kue ku ada isi kacang tanah. Masing-masing dijual antara Rp5.000 sampai Rp7.500," katanya.
Warga Kelurahan Peterongan, Semarang Selatan, ini mengaku tak ingin ketinggalan moment perayaan Imlek ke-5270 bertajuk Warga Rukun Agawe Santoso (Waras) tersebut. Sebab, acara yang berlangsung dari Jumat - Minggu (1-3/2) itu setiap tahunnya selalu dibanjiri pengunjung. Dampaknya, menghidupkan ekonomi masyarakat setempat.
"Ya, tiap tahun pasti jualan di sini. Istilahnya mremo. Jualan kalau ada event saja. Kalau kenapa memilih berjualan kue lantaran kue-kue ini biasanya untuk sesaji ritual, tetapi kita jual untuk umum agar semua bisa menikmatinya. Makanya di bakpao ini juga ada motif huruf Tionghoa-nya yang artinya kalau makan bakpao ini semoga bahagia," pungkas Desi.
(Adit/Himawan/Humas Jateng)
Baca juga : Kue Keranjang, Identitas Warisan Leluhur yang Masih Dijaga Saat Imlek
SEMARANG - Perayaan Imlek di kawasan Pecinan Kota Semarang, tepatnya di sepanjang Gang Pinggir sampai Jalan Wotgandul Timur, menjadi langganan tetap Alfasah Kuswara, 28, untuk menjajakan mainan barongsai mini. Dia mengaku sudah tiga tahun terakhir mengais rezeki di tempat yang dikenal dengan sebutan Pasar Imlek Semawis itu.
Padahal, ayah satu orang putri yang akrab disapa Alfa ini datang jauh dari Kota Cirebon, Jawa Barat. Bahkan, dia datang bersama dua orang temannya sejak Kamis (31/1) malam dengan menumpang bus ke Semarang. Baginya, perayaan tahun baru Imlek di Semarang dinilai berpotensi mendatangkan pundi-pundi rupiah.
"Selain acara Pasar Imlek Semawis, di Semarang juga ada Klenteng Sam Po Kong. Maka kami bertiga kalau pagi sampai siang jualan di Sam Poo Kong, baru sore hingga malamnya di sini. Sedangkan tidurnya ya di stan-stan kosong yang ada di sini," ujarnya, Sabtu (2/2/2019).
Alfa tahu betul bagaimana mencari lokasi strategis untuk menjajakan dagangannya. Menempati persis di sebelah panggung pertunjukan Wayang Potehi, mainan berbahan baku bulu boneka buatan pengrajin asal Kampung Tegalan, Desa/Kecamatan Jamblang, Cirebon, itu tampak mencolok.
Deretan kursi di depan panggung Wayang Potehi yang menjadi salah satu ciri khas Pasar Imlek Semawis masih terlihat lengang. Pasalnya, tirai di panggung berbentuk kotak didominasi warna merah mirip food truck itu masih ditutup dan baru dimainkan pada petang. Sehingga, sejumlah orangtua dengan membawa anak-anaknya mengerubungi dagangan Alfa.
"Untuk barongsai biasa kita jual Rp20 ribu, kalau yang bisa menyala ada lampunya dijual Rp25 ribu. Keuntungan tiap satu biji mainan sekitar Rp7.000. Sedangkan kemarin kita bawa empat karung yang masing-masing karung berisi 300 sampai 400 barongsai mini. Mudah-mudahan Imlek tahun ini bisa kembali laris, dapur tetap kembali mengebul," harap Alfa, di mana pada momen pergantian Tahun Baru 2019 berjualan terompet di Jakarta.
Di sudut lain, tepatnya di seberang Kelenteng Siu Hok Bio yang terletak di pertigaan "tusuk sate" antara Jalan Wotgandul Timur dan Jalan Gang Baru, Desi Kristiani, 36, menjajakan aneka kue khas Imlek. Diwadahi tampah anyaman bambu, dia berjualan kue mangkok, kue ku (kura-kura merah) hingga bakpao.
"Yang bikin kakak saya sendiri. Saya hanya menjualkan saja ketimbang menganggur di rumah. Untuk kue mangkok bahannya tepung beras, bakpao merah isinya kacang ijo, kalau kue ku ada isi kacang tanah. Masing-masing dijual antara Rp5.000 sampai Rp7.500," katanya.
Warga Kelurahan Peterongan, Semarang Selatan, ini mengaku tak ingin ketinggalan moment perayaan Imlek ke-5270 bertajuk Warga Rukun Agawe Santoso (Waras) tersebut. Sebab, acara yang berlangsung dari Jumat - Minggu (1-3/2) itu setiap tahunnya selalu dibanjiri pengunjung. Dampaknya, menghidupkan ekonomi masyarakat setempat.
"Ya, tiap tahun pasti jualan di sini. Istilahnya mremo. Jualan kalau ada event saja. Kalau kenapa memilih berjualan kue lantaran kue-kue ini biasanya untuk sesaji ritual, tetapi kita jual untuk umum agar semua bisa menikmatinya. Makanya di bakpao ini juga ada motif huruf Tionghoa-nya yang artinya kalau makan bakpao ini semoga bahagia," pungkas Desi.
(Adit/Himawan/Humas Jateng)
Baca juga : Kue Keranjang, Identitas Warisan Leluhur yang Masih Dijaga Saat Imlek
Berita Terbaru