Foto : istimewa (Humas Jateng)
Foto : istimewa (Humas Jateng)
SEMARANG - Mengenakan kostum berwarna kuning keemasan, sembilan perempuan muda memasuki panggung di depan Halaman Kantor Gubernur, Minggu (17/3/2019). Diiringi alunan musik Tiongkok, mereka membentuk berbagai formasi. Seperti melingkar, menyebar, dan terpusat dalam barisan vertikal.
Dengan kuku-kuku hias panjang, para penari mengayunkan tangan kanan dan kiri dengan anggun secara bergantian. Seiring ritme musik, ayunan tangan mereka semakin cepat namun tetap kompak, menampilkan gerak indah yang selaras.
Uniknya, jika diamati secara seksama, setiap telapak tangan perempuan muda itu dilukis gambar kelopak mata. Tari Seribu Tangan atau Tari Dewi Kwan Im yang ditampilkan oleh Paguyuban Umat Buddha Jawa Tengah itu sukses memukau warga yang hadir menyaksikan rangkaian acara Apel Kebangsaan Merah Putih di Panggung Jalan Pahlawan.
Tari Seribu Tangan menggambarkan sosok sang Dewi Welas Asih Kwan Im yang senantiasa menolong umat manusia yang menderita. Lukisan telapak mata yang dilukis di setiap telapak tangan penari juga memiliki makna mendalam.
"Tadi digambarkan punya tangan dan mata seribu. Itu artinya melihat dan mendengar, kemudian menolong penderitaan umat manusia. Seandainya tiap manusia punya welas asih dalam dirinya, dunia ini akan luar biasa," ujar Wakil Ketua Harian Majelis Tridharma Jateng, Sonorous Dharma yang mendampingi para penari Tari Seribu Tangan.
Siu Ling, salah seorang penari Tari Seribu Tangan membeberkan, dia dan rekan-rekannya sudah berlatih selama sebulan demi penampilan terbaik mereka pada hari ini. Warga asli Kota Semarang itu menjelaskan, tantangan dalam tarian ini adalah konsentrasi setiap penari agar mampu menampilkan gerak kompak dalam regunya.
"Konsentrasi untuk menciptakan gerakan tangan seribu itu harus tepat. Kalau ada salah satu yang nggak kompak, akan kelihatan jelek. Kami berlatih tiga kali setiap minggu selama sebulan ini agar bisa menampilkan yang terbaik," bebernya.
Suasana penuh kegembiraan dan keakraban juga terlihat di depan panggung Jalan Pandanaran. Alunan musik tradisional khas Bali terdengar rancak mengiringi tarian Bhinneka Santinata. Penampilan kolaborasi antara alat musik Bale Ganjor dengan tarian Nusantara dan band etnik persembahan dari pemuda-pemudi Parisada Hindu Indonesia itu, menarik perhatian warga yang melintas.
Berbalut busana adat dari berbagai suku dan daerah di Indonesia, seperti Minangkabau, Dayak, Batak, dan Jawa dengan corak warna beragam, para penari berwajah sumringah membawakan tarian nusantara. Warna-warni busana adat yang dikenakan menjadi simbol kebinekaan Indonesia.
Ni Ketut Caesaria Dewi, salah seorang personel Bhinneka Santinata mengaku bangga dapat ikut menyemarakkan panggung "Kita Merah Putih" di Jalan Pandanaran Semarang. Mahasiswi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang itu melantunkan lagu bertema kebinekaan dengan iringan band etnik.
"Acara Kita Merah Putih ini untuk merawat kebinekaan dan saya sangat mendukung acara ini. Saya bersama pemuda-pemudi Hindu Persada Indonesia lainnya akan bernyanyi dan menari dengan busana adat dari berbagai daerah sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia," bebernya.
Penampilan paduan suara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Kota Semarang pun tak kalah memukau. Puji-pujian rohani yang dilantunkan menambah semarak acara. Belasan warga Papua yang tergabung dalam paduan suara.
Salah seorang anggota paduan suara, Paskalina mengaku bangga dan senang bisa tampil di panggung 'Merah Putih' bersama warga dari berbagai pelosok Tanah Air. Mahasiswi Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu tidak menyangka bisa ikut terlibat pada acara itu.
"Saya sangat senang dan bangga bisa ikut tampil di acara ini untuk membawakan nyanyian rohani bersama teman-teman dari Papua. Dengan kegiatan ini, kami berharap persatuan akan terjaga selamanya karena dalam NKRI kita semua bersaudara," ucap gadis dari kelompok paduan suara Gereja Gereformeerd Kota Semarang di sela acara.
Warga Fakfak Papua Barat itu mengapresiasi acara yang bertujuan merekatkan kerukunan dan persatuan bangsa tersebut. Perbedaan suku, agama, ras dan budaya di penjuru nusantara merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga sertaq terus mengobarkan semangat persatuan dan kasih sayang terhadap sesama.
Sementara itu, Rina, 20, salah seorang pengunjung mengaku senang bisa menyaksikan pagelaran seni dari berbagai daerah di Indonesia. Selain tarian nusantara dengan busana adat daerah yang dibawakan para umat Hindu, nyanyian rohani umat Kristiani juga ikut meramaikan acara.
Baca juga : Tampil Perdana di Apel Kebangsaan, Noe Ajak Masyarakat Jaga Kewarasan Berpikir
SEMARANG - Mengenakan kostum berwarna kuning keemasan, sembilan perempuan muda memasuki panggung di depan Halaman Kantor Gubernur, Minggu (17/3/2019). Diiringi alunan musik Tiongkok, mereka membentuk berbagai formasi. Seperti melingkar, menyebar, dan terpusat dalam barisan vertikal.
Dengan kuku-kuku hias panjang, para penari mengayunkan tangan kanan dan kiri dengan anggun secara bergantian. Seiring ritme musik, ayunan tangan mereka semakin cepat namun tetap kompak, menampilkan gerak indah yang selaras.
Uniknya, jika diamati secara seksama, setiap telapak tangan perempuan muda itu dilukis gambar kelopak mata. Tari Seribu Tangan atau Tari Dewi Kwan Im yang ditampilkan oleh Paguyuban Umat Buddha Jawa Tengah itu sukses memukau warga yang hadir menyaksikan rangkaian acara Apel Kebangsaan Merah Putih di Panggung Jalan Pahlawan.
Tari Seribu Tangan menggambarkan sosok sang Dewi Welas Asih Kwan Im yang senantiasa menolong umat manusia yang menderita. Lukisan telapak mata yang dilukis di setiap telapak tangan penari juga memiliki makna mendalam.
"Tadi digambarkan punya tangan dan mata seribu. Itu artinya melihat dan mendengar, kemudian menolong penderitaan umat manusia. Seandainya tiap manusia punya welas asih dalam dirinya, dunia ini akan luar biasa," ujar Wakil Ketua Harian Majelis Tridharma Jateng, Sonorous Dharma yang mendampingi para penari Tari Seribu Tangan.
Siu Ling, salah seorang penari Tari Seribu Tangan membeberkan, dia dan rekan-rekannya sudah berlatih selama sebulan demi penampilan terbaik mereka pada hari ini. Warga asli Kota Semarang itu menjelaskan, tantangan dalam tarian ini adalah konsentrasi setiap penari agar mampu menampilkan gerak kompak dalam regunya.
"Konsentrasi untuk menciptakan gerakan tangan seribu itu harus tepat. Kalau ada salah satu yang nggak kompak, akan kelihatan jelek. Kami berlatih tiga kali setiap minggu selama sebulan ini agar bisa menampilkan yang terbaik," bebernya.
Suasana penuh kegembiraan dan keakraban juga terlihat di depan panggung Jalan Pandanaran. Alunan musik tradisional khas Bali terdengar rancak mengiringi tarian Bhinneka Santinata. Penampilan kolaborasi antara alat musik Bale Ganjor dengan tarian Nusantara dan band etnik persembahan dari pemuda-pemudi Parisada Hindu Indonesia itu, menarik perhatian warga yang melintas.
Berbalut busana adat dari berbagai suku dan daerah di Indonesia, seperti Minangkabau, Dayak, Batak, dan Jawa dengan corak warna beragam, para penari berwajah sumringah membawakan tarian nusantara. Warna-warni busana adat yang dikenakan menjadi simbol kebinekaan Indonesia.
Ni Ketut Caesaria Dewi, salah seorang personel Bhinneka Santinata mengaku bangga dapat ikut menyemarakkan panggung "Kita Merah Putih" di Jalan Pandanaran Semarang. Mahasiswi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang itu melantunkan lagu bertema kebinekaan dengan iringan band etnik.
"Acara Kita Merah Putih ini untuk merawat kebinekaan dan saya sangat mendukung acara ini. Saya bersama pemuda-pemudi Hindu Persada Indonesia lainnya akan bernyanyi dan menari dengan busana adat dari berbagai daerah sebagai simbol persatuan bangsa Indonesia," bebernya.
Penampilan paduan suara Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Kota Semarang pun tak kalah memukau. Puji-pujian rohani yang dilantunkan menambah semarak acara. Belasan warga Papua yang tergabung dalam paduan suara.
Salah seorang anggota paduan suara, Paskalina mengaku bangga dan senang bisa tampil di panggung 'Merah Putih' bersama warga dari berbagai pelosok Tanah Air. Mahasiswi Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu tidak menyangka bisa ikut terlibat pada acara itu.
"Saya sangat senang dan bangga bisa ikut tampil di acara ini untuk membawakan nyanyian rohani bersama teman-teman dari Papua. Dengan kegiatan ini, kami berharap persatuan akan terjaga selamanya karena dalam NKRI kita semua bersaudara," ucap gadis dari kelompok paduan suara Gereja Gereformeerd Kota Semarang di sela acara.
Warga Fakfak Papua Barat itu mengapresiasi acara yang bertujuan merekatkan kerukunan dan persatuan bangsa tersebut. Perbedaan suku, agama, ras dan budaya di penjuru nusantara merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus dijaga sertaq terus mengobarkan semangat persatuan dan kasih sayang terhadap sesama.
Sementara itu, Rina, 20, salah seorang pengunjung mengaku senang bisa menyaksikan pagelaran seni dari berbagai daerah di Indonesia. Selain tarian nusantara dengan busana adat daerah yang dibawakan para umat Hindu, nyanyian rohani umat Kristiani juga ikut meramaikan acara.
Baca juga : Tampil Perdana di Apel Kebangsaan, Noe Ajak Masyarakat Jaga Kewarasan Berpikir
Berita Terbaru