Foto : Rinto (Humas Jateng)
Foto : Rinto (Humas Jateng)
KAB. MAGELANG - Jalan-jalan ke Kawasan Candi Borobudur rasanya belum lengkap jika tidak mampir ke salah satu rumah di Jalan Balaputradewa yang mengoleksi ribuan sepeda kuno.
Pemiliknya bernama Pramono. Pria kelahiran Magelang 24 Desember 1950 itu memasang papan nama di depan rumahnya dengan tulisan, Wisata Sepeda Borobudur.
Anggota Komunitas Sepeda Kuno VOC Magelang, itu sejak SMP mengakui jika kecintaan terhadap sepeda karena selalu diminta mengelap sepeda sang ayah.
Saat duduk di bangku kuliah, ia pun “nyambi” sebagai sopir taksi agar bisa membeli sepeda. Saat ditemui, putra mantan Wakil Gubernur Jateng Suparto itu juga menunjukkan foto-foto koleksi sepedanya yang disewa pada gelaran event Internasional Veteran Cycle Asossociaton (IVCA) yang dihadiri 45 negara.
“Zaman dulu bapak saya punya sepeda simplex. Saya hanya ditugasi mengelap, tidak boleh memakai. Maka, timbul cita-cita, besok kalau saya sudah besar beli sepeda simplex,” ujarnya.
Setiap memiliki uang, ia pun berburu sepeda tua di hari-hari pasaran desa, seperti pasaran Pon ke Prambanan, pasaran Legi ke Jatinom, Kliwon ke Muntilan. Usaha persewaan sepeda pun baru ia rintis pada 2004 hingga jumlahnya mencapai 2.000 lebih. Meski usianya tak lagi muda, Pramono pun masih kuat bersepeda dari Magelang ke Yogyakarta. Ia mematok biaya sewa Rp 15.000 per hari.
Pramono mengakui, salah satu sepeda unik yang ia sewakan bermerek Penny Farthing. Sepeda dengan roda besar di depan, dan roda kecil di belakang. Tujuan membuka usaha penyewaan sepeda, bukan semata mencari keuntungan, melainkan untuk mengajak masyarakat bersepeda.
Sepeda itu populer setelah pembuatan Boneshaker sampai perkembangan sepeda aman (Safety Bicycle) di tahun 1880-an. Penny Farthing merupakan mesin pertama yang disebut sepeda (bicycle).
KAB. MAGELANG - Jalan-jalan ke Kawasan Candi Borobudur rasanya belum lengkap jika tidak mampir ke salah satu rumah di Jalan Balaputradewa yang mengoleksi ribuan sepeda kuno.
Pemiliknya bernama Pramono. Pria kelahiran Magelang 24 Desember 1950 itu memasang papan nama di depan rumahnya dengan tulisan, Wisata Sepeda Borobudur.
Anggota Komunitas Sepeda Kuno VOC Magelang, itu sejak SMP mengakui jika kecintaan terhadap sepeda karena selalu diminta mengelap sepeda sang ayah.
Saat duduk di bangku kuliah, ia pun “nyambi” sebagai sopir taksi agar bisa membeli sepeda. Saat ditemui, putra mantan Wakil Gubernur Jateng Suparto itu juga menunjukkan foto-foto koleksi sepedanya yang disewa pada gelaran event Internasional Veteran Cycle Asossociaton (IVCA) yang dihadiri 45 negara.
“Zaman dulu bapak saya punya sepeda simplex. Saya hanya ditugasi mengelap, tidak boleh memakai. Maka, timbul cita-cita, besok kalau saya sudah besar beli sepeda simplex,” ujarnya.
Setiap memiliki uang, ia pun berburu sepeda tua di hari-hari pasaran desa, seperti pasaran Pon ke Prambanan, pasaran Legi ke Jatinom, Kliwon ke Muntilan. Usaha persewaan sepeda pun baru ia rintis pada 2004 hingga jumlahnya mencapai 2.000 lebih. Meski usianya tak lagi muda, Pramono pun masih kuat bersepeda dari Magelang ke Yogyakarta. Ia mematok biaya sewa Rp 15.000 per hari.
Pramono mengakui, salah satu sepeda unik yang ia sewakan bermerek Penny Farthing. Sepeda dengan roda besar di depan, dan roda kecil di belakang. Tujuan membuka usaha penyewaan sepeda, bukan semata mencari keuntungan, melainkan untuk mengajak masyarakat bersepeda.
Sepeda itu populer setelah pembuatan Boneshaker sampai perkembangan sepeda aman (Safety Bicycle) di tahun 1880-an. Penny Farthing merupakan mesin pertama yang disebut sepeda (bicycle).
Berita Terbaru