Follow Us :              

Punya Anak Berkebutuhan Khusus, Jangan Menutup Diri

  02 March 2017  |   09:00:00  |   dibaca : 2041 
Kategori :
Bagikan :


Punya Anak Berkebutuhan Khusus, Jangan Menutup Diri

02 March 2017 | 09:00:00 | dibaca : 2041
Kategori :
Bagikan :

Foto : (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : (Humas Jateng)

Semarang - Mendapat karunia untuk mendidik dan membesarkan anak berkebutuhan khusus (ABK), tidaklah mudah diterima oleh setiap orang tua. Padahal, mereka menjadi kunci utama dalam membangun kemandirian dan kesuksesan anaknya yang berkebutuhan khusus.

“Saya mengutip kata-kata Dewi Yull yang dua anaknya berkebutuhan khusus, bahwa yang perlu diobati lebih dahulu sebetulnya orang tua dan lingkungannya,” kata Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Hj Atikoh Ganjar Pranowo, Rabu (2/3), pada acara World Hearing Day, Bakti Sosial dan Optimalisasi ABK di SLB Negeri.

Sependapat dengan Dewi Yull, ibu satu putera itu menuturkan, orang tua dan lingkungan memang harus diobati agar bisa menerima dengan ikhlas keberadaan ABK sebagai karunia Tuhan yang istimewa. Penerimaan yang ikhlas, akan sangat membantu untuk memberikan semangat dan dukungan kepada anaknya.

Atikoh mencontohkan kedua orang tua Thomas Alfa Edison yang mampu menerima anaknya yang menyandang autisme. Penerimaan mereka mampu membawa Thomas Alfa Edison menjadi salah satu tokoh besar dunia.

“Thomas Alfa Edison masuk sekolah umur tujuh tahun. Baru tiga bulan sekolah, Thomas mendapat surat dari gurunya dan harus diserahkan kepada orang tuanya. Isi surat tersebut sebenarnya menginformasikan bahwa Thomas tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas dan silahkan dididik sendiri. Tetapi, sang ibu menyampaikan kepada Thomas, bahwa Thomas adalah anak yang terlalu genius dan luar biasa, sehingga sekolah terlalu sempit baginya,” jelasnya.

Ucapan sang ibu, tentu menjadi energi yang luar biasa bagi si anak, lanjutnya. Itu terbukti dengan keberhasilan Thomas yang dikenal sebagai penemu lampu pijar dan ribuan penelitan lain yang dipatenkan. Di samping Thomas Alfa Edison, banyak tokoh lain yang berhasil meski berkebutuhan khusus. Seperti Angie Yudistia (penulis), Dian (runner up Ms World), Panji Surya (Aktor anak Dewi Yull) dan Ludwig Van Beethoven (komposer).

“Orang tua menjadi kunci karena yang paling tahu karakteristik anak, yang setiap hari berkomunikasi, yang paling tahu apa potensi anak. Peran aktif orang tua adalah bentuk dukungan terhadap anak. Adanya dukungan, akan menentukan perkembangan psikologis anak,” tuturnya.

Ditambahkan, orang tua perlu bergabung dengan kelompok-kelompok pendukung/ komunitas orang tua difabel. Sebab, dalam kelompok itu, orang tua bisa saling berbagi, dan bertukar ilmu.

Setelah orang tua, adalah peran dari sekolah, sambungnya. Sekolah tidak hanya berperan membekali dengan baca tulis tapi, mesti mampu membawa anak didiknya yang ABK berkompetisi secara ekonomi. Sehingga, dapat bertahan menghadapi kehidupan.

“Kemudian disini pemerintah sebagai pemegang kebijakan, membuat kebijakan yang pro terhadap anak-anak difabel. Mulai dari payung hukumnya, kemudian kebijakan-kebijakan yang berpihak. Salah satunya alokasi khusus bagi karyawan difabel di perusahaan. Tapi itu menurut saya belum bisa terlalu diharapkan. Sehingga kita harus membantu dengan cara mempromosikan hasil karya anak difabel, maupun membeli hasil karyanya,” urainya.

Orang tua penyandang difabel, Diah Sekar, sepakat dengan arahan Atikoh, agar para orang tua dapat bergabung dengan kelompok pendukung. Berada dalam satu kelompok yang sama, bisa saling membuka diri. Sebab, masing-masing menghadapi masalah yang sama. Dari situ, antaranggota kelompok akan sama-sama belajar.

“Saran saya kepada orang tua atau keluarga yang punya anak berkebutuhan khusus, jangan mengurung diri. Kita tidak akan pernah tahu, 15 atau 20 tahun ke depan anak kita bisa berbicara di muka umum. Kita harus membuka diri, mengosongkan pikiran, agar siap menerima informasi baru yang positif dan bisa menyerap dengan baik,” ungkapnya. (Humas Jateng)

 

 


Bagikan :

Semarang - Mendapat karunia untuk mendidik dan membesarkan anak berkebutuhan khusus (ABK), tidaklah mudah diterima oleh setiap orang tua. Padahal, mereka menjadi kunci utama dalam membangun kemandirian dan kesuksesan anaknya yang berkebutuhan khusus.

“Saya mengutip kata-kata Dewi Yull yang dua anaknya berkebutuhan khusus, bahwa yang perlu diobati lebih dahulu sebetulnya orang tua dan lingkungannya,” kata Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Hj Atikoh Ganjar Pranowo, Rabu (2/3), pada acara World Hearing Day, Bakti Sosial dan Optimalisasi ABK di SLB Negeri.

Sependapat dengan Dewi Yull, ibu satu putera itu menuturkan, orang tua dan lingkungan memang harus diobati agar bisa menerima dengan ikhlas keberadaan ABK sebagai karunia Tuhan yang istimewa. Penerimaan yang ikhlas, akan sangat membantu untuk memberikan semangat dan dukungan kepada anaknya.

Atikoh mencontohkan kedua orang tua Thomas Alfa Edison yang mampu menerima anaknya yang menyandang autisme. Penerimaan mereka mampu membawa Thomas Alfa Edison menjadi salah satu tokoh besar dunia.

“Thomas Alfa Edison masuk sekolah umur tujuh tahun. Baru tiga bulan sekolah, Thomas mendapat surat dari gurunya dan harus diserahkan kepada orang tuanya. Isi surat tersebut sebenarnya menginformasikan bahwa Thomas tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas dan silahkan dididik sendiri. Tetapi, sang ibu menyampaikan kepada Thomas, bahwa Thomas adalah anak yang terlalu genius dan luar biasa, sehingga sekolah terlalu sempit baginya,” jelasnya.

Ucapan sang ibu, tentu menjadi energi yang luar biasa bagi si anak, lanjutnya. Itu terbukti dengan keberhasilan Thomas yang dikenal sebagai penemu lampu pijar dan ribuan penelitan lain yang dipatenkan. Di samping Thomas Alfa Edison, banyak tokoh lain yang berhasil meski berkebutuhan khusus. Seperti Angie Yudistia (penulis), Dian (runner up Ms World), Panji Surya (Aktor anak Dewi Yull) dan Ludwig Van Beethoven (komposer).

“Orang tua menjadi kunci karena yang paling tahu karakteristik anak, yang setiap hari berkomunikasi, yang paling tahu apa potensi anak. Peran aktif orang tua adalah bentuk dukungan terhadap anak. Adanya dukungan, akan menentukan perkembangan psikologis anak,” tuturnya.

Ditambahkan, orang tua perlu bergabung dengan kelompok-kelompok pendukung/ komunitas orang tua difabel. Sebab, dalam kelompok itu, orang tua bisa saling berbagi, dan bertukar ilmu.

Setelah orang tua, adalah peran dari sekolah, sambungnya. Sekolah tidak hanya berperan membekali dengan baca tulis tapi, mesti mampu membawa anak didiknya yang ABK berkompetisi secara ekonomi. Sehingga, dapat bertahan menghadapi kehidupan.

“Kemudian disini pemerintah sebagai pemegang kebijakan, membuat kebijakan yang pro terhadap anak-anak difabel. Mulai dari payung hukumnya, kemudian kebijakan-kebijakan yang berpihak. Salah satunya alokasi khusus bagi karyawan difabel di perusahaan. Tapi itu menurut saya belum bisa terlalu diharapkan. Sehingga kita harus membantu dengan cara mempromosikan hasil karya anak difabel, maupun membeli hasil karyanya,” urainya.

Orang tua penyandang difabel, Diah Sekar, sepakat dengan arahan Atikoh, agar para orang tua dapat bergabung dengan kelompok pendukung. Berada dalam satu kelompok yang sama, bisa saling membuka diri. Sebab, masing-masing menghadapi masalah yang sama. Dari situ, antaranggota kelompok akan sama-sama belajar.

“Saran saya kepada orang tua atau keluarga yang punya anak berkebutuhan khusus, jangan mengurung diri. Kita tidak akan pernah tahu, 15 atau 20 tahun ke depan anak kita bisa berbicara di muka umum. Kita harus membuka diri, mengosongkan pikiran, agar siap menerima informasi baru yang positif dan bisa menyerap dengan baik,” ungkapnya. (Humas Jateng)

 

 


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu