Follow Us :              

Menapaki Kahyangan, Mengintip Babat Alas Kerajaan Mataram

  17 May 2019  |   07:30:00  |   dibaca : 35776 
Kategori :
Bagikan :


Menapaki Kahyangan, Mengintip Babat Alas Kerajaan Mataram

17 May 2019 | 07:30:00 | dibaca : 35776
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

WONOGIRI - Panembahan Senopati merupakan tokoh sentral berdirinya kerajaan Mataram Islam. Tidak sedikit laku spiritual yang dijalankan demi kokohnya tonggak kerajaan Islam di Tlatah (Tanah) Jawa usai Demak, bertapa salah satunya.

Panembahan Senopati yang memiliki nama asli Danang Sutawijaya merupakan penerima sah hadiah setelah memenangkan sayembara Sultan Hadiwijaya, raja kerajaan Pajang, yakni membunuh Arya Penangsang. Maka alas Mentaok menjadi miliknya. Alas atau hutan Mentaok inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang kelak sekaligus menjadi pusatnya.

Usai Danang Sutawijaya menerima hadiah tersebut, berangkatlah dia menyambangi lahan yang dijanjikan. Sesampainya di tanah yang dijanjikan, Danang Sutawijaya tidak langsung melakukan babat alas atau pembukaan lahan, namun dia memilih bertapa beberapa waktu. Setelah menjalani laku spiritual, dipilihlah salah satu tempat paling istimewa untuk semedi, yaitu Kahyangan.

Lingkungan sekitar pertapaan yang saat ini masuk wilayah Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri tersebut terletak di lembah sungai dengan batu-batu dan pohon besar. Sebuah air terjun menghiasi tebing. Terdapat dua pertapaan yang keduanya berada di bawah sebuah batu yang sangat besar, Selo Bethek dan Selo Payung. 

Selama bertapa di hutan Kahyangan Dlepih, Danang Sutawijaya dibantu kebutuhan sehari-harinya oleh Nyai Puju, warga yang tinggal di daerah itu. Konon, Nyai Puju dan keturunannya inilah yang kemudian diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bekas pertapaannya, setelah Danang Sutawijaya menjadi Raja Mataram.

Karena keistimewaan tersebut, saat ini Kahyangan, Dlepih menjadi satu dari sekian tempat yang disakralkan Keraton Yogyakarta selain Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu. Tempat-tempat tersebut dijuluki sebagai petilasan.

Sebagai rasa syukur dan hormat, di petilasan tersebut rutin diselenggarakan upacara adat yang dinamakan Labuhan. Labuhan merupakan upacara adat yang secara rutin dilakukan oleh Keraton Yogyakarta di tempat-tempat yang memiliki arti khusus bagi keraton hingga perlu dirawat.

Labuhan dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem, peringatan kenaikan takhta Sultan berdasar kalender Jawa. Khusus di Dlepih, tepatnya di Kahyangan, Labuhan hanya diselenggarakan saat Labuhan Ageng (besar) yang jatuh tiap sewindu atau delapan tahun sekali yang bertepatan pada tahun Dal.

Lokasi-lokasi labuhan tersebut dijaga dan dipelihara oleh juru kunci yang diangkat sebagai Abdi Dalemoleh keraton. Di Kahyangan, Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, salah satu Abdi Dalem yang ditugaskan untuk menjaganya adalah Mas Ngabehi Surakso Budoyo.

Pria bernama asli Wakino ini ditunjuk sebagai Abdi Dalem menggantikan ayahnya. Berbeda dari juru kunci di tempat-tempat lain, di Dlepih penugasan juru kunci diwariskan dari generasi ke generasi.

Awalnya Wakino membantu pekerjaan ayahnya, lalu pada tahun 1965, saat berusia 25, ia diangkat menjadi Abdi Dalem. Kini seorang anak dan dua cucunya juga sudah diangkat sebagai Abdi Dalem juru kunci. Keempat orang inilah yang sekarang merawat petilasan tersebut.

Sebagai ritual, Labuhan memiliki aturan dan urutan khusus. Prosesi diawali di keraton. Ubarampe disiapkan lalu diantarkan ke tempat yang ditentukan. Ubarampe tersebut berupa songsong (payung kerajaan), baju, kain, makanan dan sebagainya. 

Di Dlepih, ubarampe yang dibawa oleh utusan dari Keraton Yogyakarta langsung diserahkan ke camat dan Abdi Dalem Juru Kunci di Selo Payung. Setelah itu Abdi Dalem Juru Kunci akan memimpin doa. Khusus untuk Labuhan di Dlepih, ubarampe yang telah didoakan tersebut tidak dibagikan kepada masyarakat, namun disimpan sampai rusak di sebuah bangunan khusus yang disebut Panti Labuhan.

Sebagai situs yang memiliki nilai sejarah kerajaan masa lalu, tak ayal Kahyangan dianggap sebagai tempat keramat sehingga banyak orang mendatangi tempat ini untukngalap berkah, melakukan doa permohonan agar tujuannya tercapai. Sehingga selain bertugas menyelenggarakan upacara Labuhan, membersihkan, dan merawat situs, Abdi Dalem Juru Kunci di Kahyangan juga bertugas mendampingi para peziarah.

“Tugas pokok kami adalah berada di sini setiap hari. Ada (pengunjung) yang minta agar lancar pekerjaannya. Apapun tujuannya saya akan mendoakan,” ungkap pria yang tak lulus SD ini. 

Dia mengaku keluarga dan warga sekitar tidak menyikapi posisinya secara istimewa, “Tapi ada penghormatan khusus. Kalau ada pekerjaan besar, seperti (perbaikan lahan) waktu tempat ini longsor, saya bisa minta tolong pada (kepala) Dukuh,” katanya.

 

Baca juga : Curug Merak Temanggung, Indah dan Belum Banyak Terjamah


Bagikan :

WONOGIRI - Panembahan Senopati merupakan tokoh sentral berdirinya kerajaan Mataram Islam. Tidak sedikit laku spiritual yang dijalankan demi kokohnya tonggak kerajaan Islam di Tlatah (Tanah) Jawa usai Demak, bertapa salah satunya.

Panembahan Senopati yang memiliki nama asli Danang Sutawijaya merupakan penerima sah hadiah setelah memenangkan sayembara Sultan Hadiwijaya, raja kerajaan Pajang, yakni membunuh Arya Penangsang. Maka alas Mentaok menjadi miliknya. Alas atau hutan Mentaok inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang kelak sekaligus menjadi pusatnya.

Usai Danang Sutawijaya menerima hadiah tersebut, berangkatlah dia menyambangi lahan yang dijanjikan. Sesampainya di tanah yang dijanjikan, Danang Sutawijaya tidak langsung melakukan babat alas atau pembukaan lahan, namun dia memilih bertapa beberapa waktu. Setelah menjalani laku spiritual, dipilihlah salah satu tempat paling istimewa untuk semedi, yaitu Kahyangan.

Lingkungan sekitar pertapaan yang saat ini masuk wilayah Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri tersebut terletak di lembah sungai dengan batu-batu dan pohon besar. Sebuah air terjun menghiasi tebing. Terdapat dua pertapaan yang keduanya berada di bawah sebuah batu yang sangat besar, Selo Bethek dan Selo Payung. 

Selama bertapa di hutan Kahyangan Dlepih, Danang Sutawijaya dibantu kebutuhan sehari-harinya oleh Nyai Puju, warga yang tinggal di daerah itu. Konon, Nyai Puju dan keturunannya inilah yang kemudian diberi tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bekas pertapaannya, setelah Danang Sutawijaya menjadi Raja Mataram.

Karena keistimewaan tersebut, saat ini Kahyangan, Dlepih menjadi satu dari sekian tempat yang disakralkan Keraton Yogyakarta selain Pantai Parangkusuma, Gunung Merapi, Gunung Lawu. Tempat-tempat tersebut dijuluki sebagai petilasan.

Sebagai rasa syukur dan hormat, di petilasan tersebut rutin diselenggarakan upacara adat yang dinamakan Labuhan. Labuhan merupakan upacara adat yang secara rutin dilakukan oleh Keraton Yogyakarta di tempat-tempat yang memiliki arti khusus bagi keraton hingga perlu dirawat.

Labuhan dilaksanakan setiap tahun untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem, peringatan kenaikan takhta Sultan berdasar kalender Jawa. Khusus di Dlepih, tepatnya di Kahyangan, Labuhan hanya diselenggarakan saat Labuhan Ageng (besar) yang jatuh tiap sewindu atau delapan tahun sekali yang bertepatan pada tahun Dal.

Lokasi-lokasi labuhan tersebut dijaga dan dipelihara oleh juru kunci yang diangkat sebagai Abdi Dalemoleh keraton. Di Kahyangan, Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri, salah satu Abdi Dalem yang ditugaskan untuk menjaganya adalah Mas Ngabehi Surakso Budoyo.

Pria bernama asli Wakino ini ditunjuk sebagai Abdi Dalem menggantikan ayahnya. Berbeda dari juru kunci di tempat-tempat lain, di Dlepih penugasan juru kunci diwariskan dari generasi ke generasi.

Awalnya Wakino membantu pekerjaan ayahnya, lalu pada tahun 1965, saat berusia 25, ia diangkat menjadi Abdi Dalem. Kini seorang anak dan dua cucunya juga sudah diangkat sebagai Abdi Dalem juru kunci. Keempat orang inilah yang sekarang merawat petilasan tersebut.

Sebagai ritual, Labuhan memiliki aturan dan urutan khusus. Prosesi diawali di keraton. Ubarampe disiapkan lalu diantarkan ke tempat yang ditentukan. Ubarampe tersebut berupa songsong (payung kerajaan), baju, kain, makanan dan sebagainya. 

Di Dlepih, ubarampe yang dibawa oleh utusan dari Keraton Yogyakarta langsung diserahkan ke camat dan Abdi Dalem Juru Kunci di Selo Payung. Setelah itu Abdi Dalem Juru Kunci akan memimpin doa. Khusus untuk Labuhan di Dlepih, ubarampe yang telah didoakan tersebut tidak dibagikan kepada masyarakat, namun disimpan sampai rusak di sebuah bangunan khusus yang disebut Panti Labuhan.

Sebagai situs yang memiliki nilai sejarah kerajaan masa lalu, tak ayal Kahyangan dianggap sebagai tempat keramat sehingga banyak orang mendatangi tempat ini untukngalap berkah, melakukan doa permohonan agar tujuannya tercapai. Sehingga selain bertugas menyelenggarakan upacara Labuhan, membersihkan, dan merawat situs, Abdi Dalem Juru Kunci di Kahyangan juga bertugas mendampingi para peziarah.

“Tugas pokok kami adalah berada di sini setiap hari. Ada (pengunjung) yang minta agar lancar pekerjaannya. Apapun tujuannya saya akan mendoakan,” ungkap pria yang tak lulus SD ini. 

Dia mengaku keluarga dan warga sekitar tidak menyikapi posisinya secara istimewa, “Tapi ada penghormatan khusus. Kalau ada pekerjaan besar, seperti (perbaikan lahan) waktu tempat ini longsor, saya bisa minta tolong pada (kepala) Dukuh,” katanya.

 

Baca juga : Curug Merak Temanggung, Indah dan Belum Banyak Terjamah


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu