Follow Us :              

Menilik Tradisi Syawalan di Kota Semarang

  13 June 2019  |   08:30:00  |   dibaca : 5557 
Kategori :
Bagikan :


Menilik Tradisi Syawalan di Kota Semarang

13 June 2019 | 08:30:00 | dibaca : 5557
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

SEMARANG - Syawalan menjadi tradisi yang dinanti bagi warga Kalicari, Pedurungan, Semarang. Setelah salat subuh, mereka berbondong-bodong berkumpul untuk saling bertemu dan kemudian bermaaf-maafan. Momen saling bermaafan inilah yang paling ditunggu anak-anak. Sebab, sembari saling berjabat tangan, anak-anak akan mendapatkan uang.

Setiap rumah sudah menyiapkan uang untuk dibagikan kepada anak-anak, sebagai hadiah bagi mereka yang belajar berpuasa. Nominal yang diberikan memang tidak besar, tapi mampu cukup untuk jajan dan membuat mereka bahagia.

Suasana guyub lebih terasa saat antar warga berbagi makanan yang sudah dibawa dari rumah. Salah satu warga bernama Isti mengatakan, makanan yang dibawa tidak harus ketupat seperti yang biasa dijumpai saat merayakan lebaran syawal. Warga boleh membawa makanan apapun yang dimilikinya. Menurutnya, tradisi yang digelar seminggu setelah Lebaran ini sudah ada sekitar lebih dari dua puluh tahun lalu. 

“Setiap rumah membawa makanan sendiri-sendiri. Misalnya ada nasi gudangan, ya bawa nasi gudangan, adanya sate ya bawanya sate. Sebagian besar warga membawa makanan sendiri-sendiri, meskipun tidak wajib,” katanya, Rabu (12/6/2019).

Selain di Kalicari, di sudut lain Kota Semarang juga memiliki tradisi syawalan yang tak kalah menarik. Yakni tradisi warga membuat kupat jembut di daerah Kampung Jaten Cilik, Tlogomulyo, Pedurungan. Kupat jembut adalah ketupat biasa yang terbuat dari beras. Namun memiliki isian tauge dan sambal kelapa. Penganan ini diperebutkan bocah-bocah karena di sela-sela janur diisi dengan uang. 

Tradisi membagikan kupat jembut sudah ada sejak tahun 1950-an, setelah warga asli Jaten Cilik kembali ke kampungnya pasca mengungsi akibat perang dunia kedua. Di tengah keprihatinan, warga kala itu tetap ingin bersyukur merayakan Idulfitri. 

Di tempat lainnya, tepatnya di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, warga menyelenggarakan tradisi syawalan yang disebut Ritual Sesaji Rewanda. Ritual yang selalu diadakan usai Hari Raya Idulfitri ini, menjadi atraksi wisata unggulan Pemerintah Kota Semarang.

Ritual Sesaji Rewanda diawali dengan prosesi arak-arakan mengusung empat gunungan dari Kampung Kandri ke Goa Kreo. Jaraknya sekitar 800 meter. Di barisan terdepan, ada empat orang dengan riasan dan kostum monyet. Barisan selanjutnya adalah replika batang kayu jati yang konon diambil oleh Sunan Kalijaga. Baru kemudian barisan gunungan dan para penari.

Ketika arak-arakan gunungan tiba di pelataran Goa Kreo, wisatawan diajak menikmati pertunjukan tari gambyong, semarangan dan wanara atau tarian monyet. Tak lama setelah pemuka masyarakat setempat memimpin doa, sesaji gunungan boleh diambil siapa saja. Hanya saja, gunungan buah-buahan tidak boleh diambil karena dikhususkan untuk monyet. Tradisi ini merupakan wujud syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan keselamatan sekaligus cara warga menjaga keseimbangan alam di Goa Kreo.

 

Baca juga : Mencicip Kue Lopis Raksasa, Ganjar: Dicocol Parutan Kelapa Muda Lebih Enak


Bagikan :

SEMARANG - Syawalan menjadi tradisi yang dinanti bagi warga Kalicari, Pedurungan, Semarang. Setelah salat subuh, mereka berbondong-bodong berkumpul untuk saling bertemu dan kemudian bermaaf-maafan. Momen saling bermaafan inilah yang paling ditunggu anak-anak. Sebab, sembari saling berjabat tangan, anak-anak akan mendapatkan uang.

Setiap rumah sudah menyiapkan uang untuk dibagikan kepada anak-anak, sebagai hadiah bagi mereka yang belajar berpuasa. Nominal yang diberikan memang tidak besar, tapi mampu cukup untuk jajan dan membuat mereka bahagia.

Suasana guyub lebih terasa saat antar warga berbagi makanan yang sudah dibawa dari rumah. Salah satu warga bernama Isti mengatakan, makanan yang dibawa tidak harus ketupat seperti yang biasa dijumpai saat merayakan lebaran syawal. Warga boleh membawa makanan apapun yang dimilikinya. Menurutnya, tradisi yang digelar seminggu setelah Lebaran ini sudah ada sekitar lebih dari dua puluh tahun lalu. 

“Setiap rumah membawa makanan sendiri-sendiri. Misalnya ada nasi gudangan, ya bawa nasi gudangan, adanya sate ya bawanya sate. Sebagian besar warga membawa makanan sendiri-sendiri, meskipun tidak wajib,” katanya, Rabu (12/6/2019).

Selain di Kalicari, di sudut lain Kota Semarang juga memiliki tradisi syawalan yang tak kalah menarik. Yakni tradisi warga membuat kupat jembut di daerah Kampung Jaten Cilik, Tlogomulyo, Pedurungan. Kupat jembut adalah ketupat biasa yang terbuat dari beras. Namun memiliki isian tauge dan sambal kelapa. Penganan ini diperebutkan bocah-bocah karena di sela-sela janur diisi dengan uang. 

Tradisi membagikan kupat jembut sudah ada sejak tahun 1950-an, setelah warga asli Jaten Cilik kembali ke kampungnya pasca mengungsi akibat perang dunia kedua. Di tengah keprihatinan, warga kala itu tetap ingin bersyukur merayakan Idulfitri. 

Di tempat lainnya, tepatnya di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, warga menyelenggarakan tradisi syawalan yang disebut Ritual Sesaji Rewanda. Ritual yang selalu diadakan usai Hari Raya Idulfitri ini, menjadi atraksi wisata unggulan Pemerintah Kota Semarang.

Ritual Sesaji Rewanda diawali dengan prosesi arak-arakan mengusung empat gunungan dari Kampung Kandri ke Goa Kreo. Jaraknya sekitar 800 meter. Di barisan terdepan, ada empat orang dengan riasan dan kostum monyet. Barisan selanjutnya adalah replika batang kayu jati yang konon diambil oleh Sunan Kalijaga. Baru kemudian barisan gunungan dan para penari.

Ketika arak-arakan gunungan tiba di pelataran Goa Kreo, wisatawan diajak menikmati pertunjukan tari gambyong, semarangan dan wanara atau tarian monyet. Tak lama setelah pemuka masyarakat setempat memimpin doa, sesaji gunungan boleh diambil siapa saja. Hanya saja, gunungan buah-buahan tidak boleh diambil karena dikhususkan untuk monyet. Tradisi ini merupakan wujud syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan keselamatan sekaligus cara warga menjaga keseimbangan alam di Goa Kreo.

 

Baca juga : Mencicip Kue Lopis Raksasa, Ganjar: Dicocol Parutan Kelapa Muda Lebih Enak


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu