Follow Us :              

Gus Yasin : Harus Ada “Holding” dalam Bisnis Pondok Pesantren

  04 March 2020  |   10:00:00  |   dibaca : 1026 
Kategori :
Bagikan :


Gus Yasin : Harus Ada “Holding” dalam Bisnis Pondok Pesantren

04 March 2020 | 10:00:00 | dibaca : 1026
Kategori :
Bagikan :

Foto : Handy (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Handy (Humas Jateng)

SEMARANG - Potensi bisnis di pondok-pondok pesantren selama ini, sudah cukup besar. Namun, Wakil Gubernur Jawa Tengah H Taj Yasin Maimoen menilai, bisnis mereka berjalan sendiri-sendiri, sehingga terkesan hanya berskala kecil. Pihaknya berharap, bisnis di pondok pesantren bisa terintegrasi sehingga memberikan pengaruh ekonomi yang besar.

“Kami berharap ada satu wadah yang bisa menggabungkan ekonomi pesantren, baik dari pondok pesantren maupun para alumninya, untuk menjadi role model usaha yang bisa kita sajikan lebih besar lagi. Artinya lebih besar adalah terkoneksi antara usaha satu dengan yang lainnya, sehingga usaha ini tidak terkesan kecil,” katanya saat memimpin Rapat Pelaksanaan Program Ekonomi Pesantren di Gedung A Lantai II, Rabu (4/3/2020).

Untuk membuat usaha pesantren lebih besar, Gus Yasin sapaan akrab Taj Yasin, tertarik dengan konsep holding yang ditawarkan oleh Ikatan Alumni Gerakan Pemuda Ansor (IKA GP Ansor). Wagub pun meminta konsep holding tersebut dapat dikonkretkan.
 
“Maka perlu dibahas pembagian tugasnya, siapa nanti yang membentuk holdingnya, bagaimana bentuk holdingnya, lalu akses holding dengan pemerintah, sinerginya bagaimana. Lalu holding dengan perbankan bagaimana. Ini juga harus dikonkretkan. Nanti (pondok pesantren) yang mendaftar, bagaimana caranya,” katanya.

Wagub memimpikan, potensi bisnis pondok pesantren dapat sukses seperti Toko Koperasi Magelang (Tosima) yang lahir dari koperasi kecil. Saat ini koperasi tersebut sudah memiliki 13 cabang dengan 66 karyawan. Dari 13 cabang, 9 cabang sudah menggunakan aplikasi internet dalam bisnisnya. 

Nur Syamsudin dari IKA GP Ansor menjelaskan, konsep holding yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian penyertaan saham seperti di perusahaan swasta. Holding hanya fungsi di pondok pesantren yang menyatukan, dan mengintegrasikan seluruh bisnis.

“Potensinya apa. Itu nanti yang akan kita bangun. Kemudian fungsinya seperti apa, manajemennya seperti apa. Sistem itu yang sedang kita rancang. Inilah yang akan menjadi pusat segala gerak bisnis pesantren,” bebernya.

Dia berpandangan, konsep holding untuk membesarkan bisnis di pondok pesantren penting. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Airlangga dan Bank Indonesia Perwakilan Jawa Timur, baru 2,6 persen bisnis pesantren yang mampu memandirikan pesantren. 

Padahal, potensi usahanya besar. Secara rinci, Nur Syamsudin menyebut, peta sektor usaha pesantren dibagi meliputi mini market dan perdagangan (18,3%),  industri pengolahan/ manufaktur (5,9%), pertanian/peternakan dan perikanan (13,7%), konveksi (10,4%), kuliner (13,1%), dan kopontren (30,7%). Dilihat dari potensi bisnisnya, sangat besar. Namun apabila ditilik dari eksistingnya, tidak terlalu menggembirakan.

“Yang paling memilukan adalah bisnis yang mampu memandirikan pesantren hanya 2,6 persen. Dari sekian banyak potensi, hanya 2,6 persen. Ini kondisi riil pesantren kita,” ujarnya.

Goals dari holding bisnis pondok pesantren ini, kata dia, meningkatkan kemandirian dan kualitas pendidikan pondok pesantren yang berkontribusi terhadap kemandirian ekonomi umat dan bangsa. 

Di samping itu, bisnis pondok pesantren akan terkelola dengan baik dan efisien, berbasis kekuatan sosial ekonomi pesantren. Pondok pesantren juga diharapkan dapat berkontribusi memecahkan masalah ekonomi untuk kemandirian ekonomi umat dan bangsa.


Bagikan :

SEMARANG - Potensi bisnis di pondok-pondok pesantren selama ini, sudah cukup besar. Namun, Wakil Gubernur Jawa Tengah H Taj Yasin Maimoen menilai, bisnis mereka berjalan sendiri-sendiri, sehingga terkesan hanya berskala kecil. Pihaknya berharap, bisnis di pondok pesantren bisa terintegrasi sehingga memberikan pengaruh ekonomi yang besar.

“Kami berharap ada satu wadah yang bisa menggabungkan ekonomi pesantren, baik dari pondok pesantren maupun para alumninya, untuk menjadi role model usaha yang bisa kita sajikan lebih besar lagi. Artinya lebih besar adalah terkoneksi antara usaha satu dengan yang lainnya, sehingga usaha ini tidak terkesan kecil,” katanya saat memimpin Rapat Pelaksanaan Program Ekonomi Pesantren di Gedung A Lantai II, Rabu (4/3/2020).

Untuk membuat usaha pesantren lebih besar, Gus Yasin sapaan akrab Taj Yasin, tertarik dengan konsep holding yang ditawarkan oleh Ikatan Alumni Gerakan Pemuda Ansor (IKA GP Ansor). Wagub pun meminta konsep holding tersebut dapat dikonkretkan.
 
“Maka perlu dibahas pembagian tugasnya, siapa nanti yang membentuk holdingnya, bagaimana bentuk holdingnya, lalu akses holding dengan pemerintah, sinerginya bagaimana. Lalu holding dengan perbankan bagaimana. Ini juga harus dikonkretkan. Nanti (pondok pesantren) yang mendaftar, bagaimana caranya,” katanya.

Wagub memimpikan, potensi bisnis pondok pesantren dapat sukses seperti Toko Koperasi Magelang (Tosima) yang lahir dari koperasi kecil. Saat ini koperasi tersebut sudah memiliki 13 cabang dengan 66 karyawan. Dari 13 cabang, 9 cabang sudah menggunakan aplikasi internet dalam bisnisnya. 

Nur Syamsudin dari IKA GP Ansor menjelaskan, konsep holding yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian penyertaan saham seperti di perusahaan swasta. Holding hanya fungsi di pondok pesantren yang menyatukan, dan mengintegrasikan seluruh bisnis.

“Potensinya apa. Itu nanti yang akan kita bangun. Kemudian fungsinya seperti apa, manajemennya seperti apa. Sistem itu yang sedang kita rancang. Inilah yang akan menjadi pusat segala gerak bisnis pesantren,” bebernya.

Dia berpandangan, konsep holding untuk membesarkan bisnis di pondok pesantren penting. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Airlangga dan Bank Indonesia Perwakilan Jawa Timur, baru 2,6 persen bisnis pesantren yang mampu memandirikan pesantren. 

Padahal, potensi usahanya besar. Secara rinci, Nur Syamsudin menyebut, peta sektor usaha pesantren dibagi meliputi mini market dan perdagangan (18,3%),  industri pengolahan/ manufaktur (5,9%), pertanian/peternakan dan perikanan (13,7%), konveksi (10,4%), kuliner (13,1%), dan kopontren (30,7%). Dilihat dari potensi bisnisnya, sangat besar. Namun apabila ditilik dari eksistingnya, tidak terlalu menggembirakan.

“Yang paling memilukan adalah bisnis yang mampu memandirikan pesantren hanya 2,6 persen. Dari sekian banyak potensi, hanya 2,6 persen. Ini kondisi riil pesantren kita,” ujarnya.

Goals dari holding bisnis pondok pesantren ini, kata dia, meningkatkan kemandirian dan kualitas pendidikan pondok pesantren yang berkontribusi terhadap kemandirian ekonomi umat dan bangsa. 

Di samping itu, bisnis pondok pesantren akan terkelola dengan baik dan efisien, berbasis kekuatan sosial ekonomi pesantren. Pondok pesantren juga diharapkan dapat berkontribusi memecahkan masalah ekonomi untuk kemandirian ekonomi umat dan bangsa.


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu