Follow Us :              

Eceng Gondok Rawa Pening, Gulma Yang Lebih Menggiurkan dari Ikan

  08 February 2019  |   10:00:00  |   dibaca : 19213 
Kategori :
Bagikan :


Eceng Gondok Rawa Pening, Gulma Yang Lebih Menggiurkan dari Ikan

08 February 2019 | 10:00:00 | dibaca : 19213
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

SEMARANG - Azan Subuh masih belum berkumandang. Jam dinding di rumah Kamto, 55, warga Dusun Gondangsari, Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang menunjukkan pukul 03.00WIB.

Bapak dua anak dan lima cucu itu pun bergegas membawa gerobak kecilnya keluar rumah sambil membawa sabit dan sebotol air putih. Dia menapakkan kaki menuju tepi Danau Rawa Pening yang ada di sisi selatan Obyek Wisata Bukit Cinta.

Gerobak kecilnya pun dia letakkan di tepi jalan setapak. Dia lantas menuju perahu yang tertambat di tepian danau. Sebelum mengayuh dayung agar perahu meluncur, mulutnya komat-kamit merapal doa. Dayung dari sepotong bambu itu pun mendorong perahu menuju tengah rawa. 

Meskipun dingin angin pagi menusuk tulang, namun seperti sudah terbiasa, Kamto tak menghiraukan dan hanya mengenakan sepotong kaos tipis dan celana panjang berwarna hitam yang mulai pudar warnanya.

Kurang dari 30 menit, Kamto tiba di tengah rawa yang dipenuhi tanaman eceng gondok. Danau Rawa Pening memiliki luas sekitar 2.670 hektare dan menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Serta, terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.

Tanaman yang dikenali sebagai gulma tersebut tumbuh subur di Rawa Pening dan membentuk kelompok-kelompok seperti pulau besar dan kecil. Kamto memilih salah satunya dan menambatkan perahunya dengan bambu.

Setelah menceburkan diri, sabit yang dia pegang di tangan kanan pun mulai memotong daun bagian atas eceng gondok hingga tersisa batangnya. Batang-batang eceng gondok yang terkumpul lalu ditata sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran dan diikat memakai tali dari bambu.

Jam tangan menunjukkan pukul 05.24WIB dan matahari mulai menampakkan cahaya merahnya. Satu per satu, batang eceng gondok yang dia kumpulkan kemudian dinaikkan ke atas perahu.

Sebanyak enam ikatan besar memenuhi perahu dengan panjang tujuh meter dan lebar 70 sentimeter itu. Masih tersisa ruang 30 sentimeter untuk Kamto duduk sambil mengayuhkan dayung dan membawa muatannya itu ke tepi rawa.

Usai tiba di tepi rawa, enam ikat besar batang eceng gondok itu kemudian dipindahkannya ke gerobak untuk dibawa ke tanah lapang di tepian Jalan Raya Ambarawa-Salatiga, atau tidak jauh dari Obyek Wisata Bukit Cinta.

Begitulah aktivitas Kamto, satu dari 2000-an petani pemetik batang eceng gondok yang ada di kawasan Rawa Pening. Untuk satu ikat besar basah dengan berat rata-rata 50 kilogram, bisa dibeli oleh pengepul seharga Rp12.000. Jika setiap pagi Kamto mendapatkan enam ikat, dia bisa mengantongi uang Rp72.000 per harinya.

Sampailah Kamto di tanah lapang itu. Di sana, sudah ada Tatik Khasanah, 51, Muslikhah, 70, dan Lasinah, 75. Tanpa berbincang dengan Kamto, ketiganya langsung melepas ikatan-ikatan batang eceng gondok yang telah diturunkan Kamto dari atas gerobak ke tanah lapang itu untuk dijemur.

Tatik merupakan pengepul batang eceng gondok. Ibu empat anak itu dibantu Muslikah dan Lasinah setiap hari menjemur sekaligus mengikat dan membawa ke gudang jika batang eceng gondok sudah kering. Jika musim kemarau, hanya membutuhkan 10 hari saja untuk proses pengeringan di bawah sinar matahari. Jika musim penghujan, bisa mencapai satu bulan lebih.

"Satu ikat basah dengan berat 50 sampai 60 kilogram itu kalau kering, menyusut menjadi empat kiloan. Saya menjualnya kembali dalam dua bentuk. Kalau basah, satu ton Rp1 juta. Kalau kering, satu ton bisa Rp6 juta. Itu kalau musim hujan. Saat musim kemarau, satu ton (batang) eceng gondok kering hanya Rp5 juta," jelasnya. 

Pembelinya, kata Tatik, datang dari Yogya dan Solo. Sampai di Yogya dan Solo, batang-batang eceng gondok kering itu kemudian diolah menjadi beragam kerajinan. Seperti kereta kencana, sofa, hiasan dinding, tempat tisu, sandal, tas, kursi dan aksesoris lainnya. Kerajinan yang sudah jadi kemudian dikirim ke pasar lokal, nasional hingga luar negeri seperti ke Amerika, Jerman, Australia, Swiss maupun Abu Dhabi.

Menurut Tatik lagi, para petani kebanyakan memilih memetik eceng gondok ketimbang mencari ikan. Karena, tiap hari ke rawa belum tentu mendapatkan ikan. Akan tetapi, jika mencari batang eceng gondok, mereka pasti mendapatkan uang, selain akivitas itu dapat membantu membersihkan rawa dari gulma.

"Kalau tidak ada mereka, rawa pening mungkin sudah tertutup eceng gondok. Program pembersihan yang berkali ulang digelar berbagai pihak, menelan biaya besar, tapi hasil pembersihannya tidak sebanding dengan yang dilakukan para petani setiap hari,'' tandasnya.

(Syukron/Himawan/Humas Jateng)

 

Baca juga : Eceng Gondok Rawa Pening Antarkan Sagasco ke Kompetisi Internasional


Bagikan :

SEMARANG - Azan Subuh masih belum berkumandang. Jam dinding di rumah Kamto, 55, warga Dusun Gondangsari, Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang menunjukkan pukul 03.00WIB.

Bapak dua anak dan lima cucu itu pun bergegas membawa gerobak kecilnya keluar rumah sambil membawa sabit dan sebotol air putih. Dia menapakkan kaki menuju tepi Danau Rawa Pening yang ada di sisi selatan Obyek Wisata Bukit Cinta.

Gerobak kecilnya pun dia letakkan di tepi jalan setapak. Dia lantas menuju perahu yang tertambat di tepian danau. Sebelum mengayuh dayung agar perahu meluncur, mulutnya komat-kamit merapal doa. Dayung dari sepotong bambu itu pun mendorong perahu menuju tengah rawa. 

Meskipun dingin angin pagi menusuk tulang, namun seperti sudah terbiasa, Kamto tak menghiraukan dan hanya mengenakan sepotong kaos tipis dan celana panjang berwarna hitam yang mulai pudar warnanya.

Kurang dari 30 menit, Kamto tiba di tengah rawa yang dipenuhi tanaman eceng gondok. Danau Rawa Pening memiliki luas sekitar 2.670 hektare dan menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Serta, terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.

Tanaman yang dikenali sebagai gulma tersebut tumbuh subur di Rawa Pening dan membentuk kelompok-kelompok seperti pulau besar dan kecil. Kamto memilih salah satunya dan menambatkan perahunya dengan bambu.

Setelah menceburkan diri, sabit yang dia pegang di tangan kanan pun mulai memotong daun bagian atas eceng gondok hingga tersisa batangnya. Batang-batang eceng gondok yang terkumpul lalu ditata sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran dan diikat memakai tali dari bambu.

Jam tangan menunjukkan pukul 05.24WIB dan matahari mulai menampakkan cahaya merahnya. Satu per satu, batang eceng gondok yang dia kumpulkan kemudian dinaikkan ke atas perahu.

Sebanyak enam ikatan besar memenuhi perahu dengan panjang tujuh meter dan lebar 70 sentimeter itu. Masih tersisa ruang 30 sentimeter untuk Kamto duduk sambil mengayuhkan dayung dan membawa muatannya itu ke tepi rawa.

Usai tiba di tepi rawa, enam ikat besar batang eceng gondok itu kemudian dipindahkannya ke gerobak untuk dibawa ke tanah lapang di tepian Jalan Raya Ambarawa-Salatiga, atau tidak jauh dari Obyek Wisata Bukit Cinta.

Begitulah aktivitas Kamto, satu dari 2000-an petani pemetik batang eceng gondok yang ada di kawasan Rawa Pening. Untuk satu ikat besar basah dengan berat rata-rata 50 kilogram, bisa dibeli oleh pengepul seharga Rp12.000. Jika setiap pagi Kamto mendapatkan enam ikat, dia bisa mengantongi uang Rp72.000 per harinya.

Sampailah Kamto di tanah lapang itu. Di sana, sudah ada Tatik Khasanah, 51, Muslikhah, 70, dan Lasinah, 75. Tanpa berbincang dengan Kamto, ketiganya langsung melepas ikatan-ikatan batang eceng gondok yang telah diturunkan Kamto dari atas gerobak ke tanah lapang itu untuk dijemur.

Tatik merupakan pengepul batang eceng gondok. Ibu empat anak itu dibantu Muslikah dan Lasinah setiap hari menjemur sekaligus mengikat dan membawa ke gudang jika batang eceng gondok sudah kering. Jika musim kemarau, hanya membutuhkan 10 hari saja untuk proses pengeringan di bawah sinar matahari. Jika musim penghujan, bisa mencapai satu bulan lebih.

"Satu ikat basah dengan berat 50 sampai 60 kilogram itu kalau kering, menyusut menjadi empat kiloan. Saya menjualnya kembali dalam dua bentuk. Kalau basah, satu ton Rp1 juta. Kalau kering, satu ton bisa Rp6 juta. Itu kalau musim hujan. Saat musim kemarau, satu ton (batang) eceng gondok kering hanya Rp5 juta," jelasnya. 

Pembelinya, kata Tatik, datang dari Yogya dan Solo. Sampai di Yogya dan Solo, batang-batang eceng gondok kering itu kemudian diolah menjadi beragam kerajinan. Seperti kereta kencana, sofa, hiasan dinding, tempat tisu, sandal, tas, kursi dan aksesoris lainnya. Kerajinan yang sudah jadi kemudian dikirim ke pasar lokal, nasional hingga luar negeri seperti ke Amerika, Jerman, Australia, Swiss maupun Abu Dhabi.

Menurut Tatik lagi, para petani kebanyakan memilih memetik eceng gondok ketimbang mencari ikan. Karena, tiap hari ke rawa belum tentu mendapatkan ikan. Akan tetapi, jika mencari batang eceng gondok, mereka pasti mendapatkan uang, selain akivitas itu dapat membantu membersihkan rawa dari gulma.

"Kalau tidak ada mereka, rawa pening mungkin sudah tertutup eceng gondok. Program pembersihan yang berkali ulang digelar berbagai pihak, menelan biaya besar, tapi hasil pembersihannya tidak sebanding dengan yang dilakukan para petani setiap hari,'' tandasnya.

(Syukron/Himawan/Humas Jateng)

 

Baca juga : Eceng Gondok Rawa Pening Antarkan Sagasco ke Kompetisi Internasional


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu