Follow Us :              

Kebijakan Ganjar Tingkatkan Kesejahteraan Pengrajin Lurik di Klaten

  25 June 2019  |   08:00:00  |   dibaca : 3888 
Kategori :
Bagikan :


Kebijakan Ganjar Tingkatkan Kesejahteraan Pengrajin Lurik di Klaten

25 June 2019 | 08:00:00 | dibaca : 3888
Kategori :
Bagikan :

Foto : Vivi (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Vivi (Humas Jateng)

KLATEN - Kebijakan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang menerapkan pemakaian batik dan lurik bagi PNS di Jateng pada Selasa hingga Jumat berdampak positif. Khususnya bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jateng.

Ruruh Jatmiko, 43, misalnya, pemilik usaha tenun lurik Sri Rejeki Tex di Dukuh Caben, Desa Mlese, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten ini mengaku bahwa kebijakan tersebut telah membuat para pengrajin terangkat kesejahteraannya.

"Selain dibeli untuk seragam PNS di Jateng, pesanan juga datang dari seluruh Indonesia. Kita juga pernah kirim kain lurik ke Malaysia, India. Lurik pun menjadi produk khas Jawa Tengah. Masyarakat sekitar terbantu perekonomiannya," katanya.

Lantas bagimana sebenarnya usaha tenun lurik di Kabupaten Klaten saat ini? Berikut saat Tim Jelajah Jateng melihat secara langsung kesibukan produksi di salah satu sentra lurik di kabupaten yang memiliki semboyan Bersinar ini.

Saat memasuki Dukuh Caben, Desa Mlese, Kecamatan Cawas, terdengar suara kayu beradu dari alat tenun tradisional yang biasa disebut oplak terdengar seperti musik klasik dari salah satu rumah.

Sri Supadmi, 58, bersama delapan perempuan lainnya sore itu tengah menenun kain lurik. Di tempat itu, mereka melakukan proses ketiga, keempat dan kelima dari tahapan membuat kain lurik. Dua tahapan sebelumnya, mewarnai benang untuk kemudian dijemur dan proses menggulung benang dalam gulungan-gulungan kecil, sudah dilakukan orang lain di rumah-rumah.

Tahapan ketiga itu bernama proses sekir. Tahap ini adalah tahap paling rumit dan membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang cukup. Proses sekir adalah proses menata benang-benang tipis yang jumlahnya bisa mencapai ribuan helai untuk dikomposisikan mengikuti desain motif yg diinginkan. Tiap-tiap motif tentu memiliki rumus yang berbeda.

Setelah proses sekir selesai, kemudian helai demi helai benang dimasukkan kedalam alat tenun yang komposisinya mengikuti rumus motif yang sudah dirancang sebelumnya. Namanya, proses nyucuk. Biasanya dilakukan dua orang, yang satu melakukan tugas memilah benang helai demi helai kemudian diserahkan kepada pasangan kerjanya, kemudian diteruskan dan dipasangkan pada alat tenun.

Tahapan terakhir, tenun. Benang-benang yang sudah terpasang pada alat tenun siap untuk ditenun, tentu alat tenun yang dimaksud adalah alat tenun tradisional terbuat dari kayu atau disebut dengan Alat Tenun Bukan Mesin disingkat ATBM. Dalam proses tenun inilah yang menghasilkan alunan musik tak berirama dari kayu yang saling beradu.

Ya, kain lurik sepintas tak jauh berbeda dengan kain pada umumnya. Namun, motif kain lurik hasil produksi mesin modern tak bisa disebut kain lurik. 

Karena, lurik merupakan branding cultural yang melekat pada hasil produksi ATBM yang ada sejak zaman dulu, ketika masyarakat belum mengenal alat modern. 

Dan lurik, dalam perjalanannya kemudian menjadi salah satu identitas cultural masyarakat Jawa. Khususnya di Jateng pasca Ganjar Pranowo membuat kebijakan PNS wajib mengenakan lurik setiap Selasa hingga Jumat.

"Kami dibayar Rp7.000 untuk menghasilkan kain lurik satu meternya. Setiap hari, kami bisa membuat delapan sampai 10 meter kain lurik beragam motif. Alhamdulillah, hasilnya bisa untuk membantu biaya sekolah anak, termasuk mengangsur beli sepeda motor," papar ibu dua anak itu kepada Tim Jelajah Jateng.

Sekadar kilas balik, pada 2016 lalu, Gubernur Ganjar berbicara dengan Presiden Joko Widodo dan menyurati Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar mendapat pengecualian terkait penerapan Permendagri Nomor 68 tahun 2015 tentang Pakaian Dinas Harian PNS di lingkungan pemerintah provinsi. Ganjar memilih menerapkan pemakaian batik dan lurik demi kelangsungan sentra kerajinan kain tradisional di wilayah yang dipimpinnya.

 

Baca juga : Othok-othok Tandai Peluncuran Event Pariwisata Jateng 2019


Bagikan :

KLATEN - Kebijakan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang menerapkan pemakaian batik dan lurik bagi PNS di Jateng pada Selasa hingga Jumat berdampak positif. Khususnya bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Jateng.

Ruruh Jatmiko, 43, misalnya, pemilik usaha tenun lurik Sri Rejeki Tex di Dukuh Caben, Desa Mlese, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten ini mengaku bahwa kebijakan tersebut telah membuat para pengrajin terangkat kesejahteraannya.

"Selain dibeli untuk seragam PNS di Jateng, pesanan juga datang dari seluruh Indonesia. Kita juga pernah kirim kain lurik ke Malaysia, India. Lurik pun menjadi produk khas Jawa Tengah. Masyarakat sekitar terbantu perekonomiannya," katanya.

Lantas bagimana sebenarnya usaha tenun lurik di Kabupaten Klaten saat ini? Berikut saat Tim Jelajah Jateng melihat secara langsung kesibukan produksi di salah satu sentra lurik di kabupaten yang memiliki semboyan Bersinar ini.

Saat memasuki Dukuh Caben, Desa Mlese, Kecamatan Cawas, terdengar suara kayu beradu dari alat tenun tradisional yang biasa disebut oplak terdengar seperti musik klasik dari salah satu rumah.

Sri Supadmi, 58, bersama delapan perempuan lainnya sore itu tengah menenun kain lurik. Di tempat itu, mereka melakukan proses ketiga, keempat dan kelima dari tahapan membuat kain lurik. Dua tahapan sebelumnya, mewarnai benang untuk kemudian dijemur dan proses menggulung benang dalam gulungan-gulungan kecil, sudah dilakukan orang lain di rumah-rumah.

Tahapan ketiga itu bernama proses sekir. Tahap ini adalah tahap paling rumit dan membutuhkan ketelitian dan kesabaran yang cukup. Proses sekir adalah proses menata benang-benang tipis yang jumlahnya bisa mencapai ribuan helai untuk dikomposisikan mengikuti desain motif yg diinginkan. Tiap-tiap motif tentu memiliki rumus yang berbeda.

Setelah proses sekir selesai, kemudian helai demi helai benang dimasukkan kedalam alat tenun yang komposisinya mengikuti rumus motif yang sudah dirancang sebelumnya. Namanya, proses nyucuk. Biasanya dilakukan dua orang, yang satu melakukan tugas memilah benang helai demi helai kemudian diserahkan kepada pasangan kerjanya, kemudian diteruskan dan dipasangkan pada alat tenun.

Tahapan terakhir, tenun. Benang-benang yang sudah terpasang pada alat tenun siap untuk ditenun, tentu alat tenun yang dimaksud adalah alat tenun tradisional terbuat dari kayu atau disebut dengan Alat Tenun Bukan Mesin disingkat ATBM. Dalam proses tenun inilah yang menghasilkan alunan musik tak berirama dari kayu yang saling beradu.

Ya, kain lurik sepintas tak jauh berbeda dengan kain pada umumnya. Namun, motif kain lurik hasil produksi mesin modern tak bisa disebut kain lurik. 

Karena, lurik merupakan branding cultural yang melekat pada hasil produksi ATBM yang ada sejak zaman dulu, ketika masyarakat belum mengenal alat modern. 

Dan lurik, dalam perjalanannya kemudian menjadi salah satu identitas cultural masyarakat Jawa. Khususnya di Jateng pasca Ganjar Pranowo membuat kebijakan PNS wajib mengenakan lurik setiap Selasa hingga Jumat.

"Kami dibayar Rp7.000 untuk menghasilkan kain lurik satu meternya. Setiap hari, kami bisa membuat delapan sampai 10 meter kain lurik beragam motif. Alhamdulillah, hasilnya bisa untuk membantu biaya sekolah anak, termasuk mengangsur beli sepeda motor," papar ibu dua anak itu kepada Tim Jelajah Jateng.

Sekadar kilas balik, pada 2016 lalu, Gubernur Ganjar berbicara dengan Presiden Joko Widodo dan menyurati Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar mendapat pengecualian terkait penerapan Permendagri Nomor 68 tahun 2015 tentang Pakaian Dinas Harian PNS di lingkungan pemerintah provinsi. Ganjar memilih menerapkan pemakaian batik dan lurik demi kelangsungan sentra kerajinan kain tradisional di wilayah yang dipimpinnya.

 

Baca juga : Othok-othok Tandai Peluncuran Event Pariwisata Jateng 2019


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu