Follow Us :              

Atikoh : Jangan Asal Diet, Perhatikan Gizi Juga Dong!

  04 February 2020  |   09:00:00  |   dibaca : 547 
Kategori :
Bagikan :


Atikoh : Jangan Asal Diet, Perhatikan Gizi Juga Dong!

04 February 2020 | 09:00:00 | dibaca : 547
Kategori :
Bagikan :

Foto : Handy (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Handy (Humas Jateng)

SEMARANG - Berdasar data Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018, Jawa Tengah berhasil menurunkan angka prevalensi stunting sebesar 5.48 persen. Pada 2013 prevalensinya di angka 36.7 persen, sementara pada 2018 sudah di angka 31.22 persen.

Menurut Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Atikoh Ganjar Pranowo, meski sudah turun, pada 2018, angka itu masih di atas nasional, yang hanya 30.8 persen.

"Secara nasional, penurunan angka stunting dan pencegahan stunting menjadi isu paling utama. Karena dari sini akan menentukan apakah SDM suatu bangsa benar-benar unggul atau tidak," katanya saat Rakor TP PKK Jawa Tengah di Wisma Perdamaian, Selasa (4/2/2020).

Dikatakan, treatment untuk anak stunting akan efektif bila dilakukan di usia sebelum dua tahun. Sebab, secara medis, 80 persen perkembangan otak anak terjadi di usia itu. Jika baru dilakukan di usia lebih dari dua tahun, sudah termasuk terlambat. 

"Mau 'disiram' seperti apa, pertumbuhan otaknya hanya tinggal 20 persen. Itu sebabnya mengapa kita fokus pada 1.000 hari kehidupan pertama anak, sejak dari kandungan. Inilah pentingnya posyandu dan pendidikan pra nikah," tandasnya.

Atikoh menjelaskan, pendidikan kesehatan itu untuk membangun kesadaran gizi sejak dini. Sebanyak 30 persen remaja putri Jawa Tengah menderita anemia. Salah satu faktor penyebab anemia bisa dari diet yang salah. 

Jika ditilik dari angka stunting (31.22) dan anemia (30) yang hampir sama, maka kuat dugaan ibu yang mengandung dalam kondisi anemia, anaknya berpotensi menderita stunting.

"Anak sekarang itu kan sangat memperhatikan penampilan. Tidak mau gendut, jadi kemudian mereka diet. Tapi dietnya salah, tidak seimbang atau bahkan makan junk food," jelasnya.

Atikoh pun mengajak para orang tua untuk memperhatikan pola makan gizi seimbang anak-anaknya. Jangan sampai, hanya karena alasan kesibukan, anak dibekali dengan makanan instan yang tidak bergizi. 

"Kalau nasi goreng ya ditambah sayur dan telor. Ini seolah-olah sepele, tetapi dari dapur ini yang akan membentuk anak-anak kita seperti apa karena itu terkait gizi," ujarnya.

Wakil Gubernur Jawa Tengah H Taj Yasin Maimoen pun sepakat dengan Ketua TP PKK Siti Atikoh. Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga, sebenarnya untuk menjadi pedoman pembangunan di tingkat keluarga. Sayangnya, pelaksanaannya belum masif.

"Kita belum masif mengamankan perda ini. Kalau perda dilaksanakan, maka perlu memberdayakan beberapa pihak, seperti guru agama dan paramedis, untuk mendampingi dan memberikan edukasi pra nikah," tuturnya.

Pendampingan itu dinilai Gus Yasin, sapaan akrab wagub, penting untuk membangun SDM Indonesia yang unggul. Apabila anak terlahir stunting, otomatis akan menyumbang kemiskinan.

"Anak stunting akan sulit kita berdayakan. Artinya stunting menjadi beban pemerintah," kata Gus Yasin.


Bagikan :

SEMARANG - Berdasar data Riset Kesehatan Dasar 2013 dan 2018, Jawa Tengah berhasil menurunkan angka prevalensi stunting sebesar 5.48 persen. Pada 2013 prevalensinya di angka 36.7 persen, sementara pada 2018 sudah di angka 31.22 persen.

Menurut Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Atikoh Ganjar Pranowo, meski sudah turun, pada 2018, angka itu masih di atas nasional, yang hanya 30.8 persen.

"Secara nasional, penurunan angka stunting dan pencegahan stunting menjadi isu paling utama. Karena dari sini akan menentukan apakah SDM suatu bangsa benar-benar unggul atau tidak," katanya saat Rakor TP PKK Jawa Tengah di Wisma Perdamaian, Selasa (4/2/2020).

Dikatakan, treatment untuk anak stunting akan efektif bila dilakukan di usia sebelum dua tahun. Sebab, secara medis, 80 persen perkembangan otak anak terjadi di usia itu. Jika baru dilakukan di usia lebih dari dua tahun, sudah termasuk terlambat. 

"Mau 'disiram' seperti apa, pertumbuhan otaknya hanya tinggal 20 persen. Itu sebabnya mengapa kita fokus pada 1.000 hari kehidupan pertama anak, sejak dari kandungan. Inilah pentingnya posyandu dan pendidikan pra nikah," tandasnya.

Atikoh menjelaskan, pendidikan kesehatan itu untuk membangun kesadaran gizi sejak dini. Sebanyak 30 persen remaja putri Jawa Tengah menderita anemia. Salah satu faktor penyebab anemia bisa dari diet yang salah. 

Jika ditilik dari angka stunting (31.22) dan anemia (30) yang hampir sama, maka kuat dugaan ibu yang mengandung dalam kondisi anemia, anaknya berpotensi menderita stunting.

"Anak sekarang itu kan sangat memperhatikan penampilan. Tidak mau gendut, jadi kemudian mereka diet. Tapi dietnya salah, tidak seimbang atau bahkan makan junk food," jelasnya.

Atikoh pun mengajak para orang tua untuk memperhatikan pola makan gizi seimbang anak-anaknya. Jangan sampai, hanya karena alasan kesibukan, anak dibekali dengan makanan instan yang tidak bergizi. 

"Kalau nasi goreng ya ditambah sayur dan telor. Ini seolah-olah sepele, tetapi dari dapur ini yang akan membentuk anak-anak kita seperti apa karena itu terkait gizi," ujarnya.

Wakil Gubernur Jawa Tengah H Taj Yasin Maimoen pun sepakat dengan Ketua TP PKK Siti Atikoh. Perda Jateng Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Pembangunan Ketahanan Keluarga, sebenarnya untuk menjadi pedoman pembangunan di tingkat keluarga. Sayangnya, pelaksanaannya belum masif.

"Kita belum masif mengamankan perda ini. Kalau perda dilaksanakan, maka perlu memberdayakan beberapa pihak, seperti guru agama dan paramedis, untuk mendampingi dan memberikan edukasi pra nikah," tuturnya.

Pendampingan itu dinilai Gus Yasin, sapaan akrab wagub, penting untuk membangun SDM Indonesia yang unggul. Apabila anak terlahir stunting, otomatis akan menyumbang kemiskinan.

"Anak stunting akan sulit kita berdayakan. Artinya stunting menjadi beban pemerintah," kata Gus Yasin.


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu