Foto : istimewa (Humas Jateng)
Foto : istimewa (Humas Jateng)
SEMARANG - Perasaan berkecamuk, sempat dialami Permana, warga Kendal, ketika dia dinyatakan positif covid-19 akhir Agustus lalu.
Tidak hanya dirinya, istri dan dua anaknya yang masih usia sekolah dasar, dinyatakan positif. Hanya si bungsu yang masih berusia 4 tahun, dinyatakan negatif.
Ia khawatir, keluarganya bakal mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Di sisi lain dia memaklumi, stigma negatif yang muncul karena masyarakat takut terpapar covid-19.
“Bagaimana keluarga saya kalau dikucilkan? Kebutuhan sehari-hari saya bagaimana karena keluarga harus isolasi mandiri selama tiga minggu. Si bungsu waktu itu saya ambil keputusan untuk ikut kakek neneknya dulu,” ujarnya
Namun, rasa khawatir itu ternyata tidak 100 persen terbukti. Dibandingkan dengan yang memberikan stigma negatif, masih cukup banyak yang peduli. Ada saja tetangga, saudara dan teman yang mengirimkan makanan atau kebutuhan lain ke rumahnya.
“Setelah sembuh malah sekarang kelebihan logistik,” ujarnya sambil tertawa.
Pengalaman yang sama juga dialami Handy, warga Kota Semarang. Begitu dirinya dinyatakan positif, orang tuanya memberikan informasi ke Ketua RT. Ketua RT pun meneruskan informasi ke warga.
Waktu itu pun, keluarganya merasakan kepedulian warga. Sehingga, dia yang berada di rumah sakit, tidak terlalu terpikir keadaan orang tuanya yang harus isolasi mandiri di rumah.
“Hampir setiap hari ada tetangga yang membawakan makanan ke rumah. Jadi saya di rumah sakit lebih ayem,” ujarnya.
Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen mengatakan, cerita itu menjadi gambaran pelaksanaan program Jogo Tonggo yang digagas Pemprov Jateng untuk menangani pandemi covid-19, terlaksana di masyarakat.
Bahkan, Jogo Tonggo mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dengan diraihnya penghargaan Top 21 Innovation Award Penanganan Covid-19 melalui Kementerian PAN RB.
Jogo tonggo mendapat penghargaan karena memiliki nilai plus. Pemprov Jateng mampu mendayagunakan seluruh kemampuan yang ada secara bersinergi, di tingkat organisasi masyarakat yang terbawah. Mereka didorong untuk saling bergotongroyong, karena covid-19 berdampak domino.
Tidak hanya pada bidang kesehatan, tetapi juga di sektor ekonomi, seperti turunnya pendapatan masyarakat, dan munculnya pengangguran,
“Di jogo tonggo ini kita menghitung betul kekuatan kita. Di setiap desa, ada elemen PKH, pendamping desa, PKK, tenaga kesehatan dan sebagainya. Stakeholder ini kita gerakkan, kita padukan untuk penanganan di sector masing-masing,” jelasnya
Wagub yang biasa disapa Gus Yasin ini juga mengingatkan, agar masyarakat terus menguatkan program jogo tonggo karena masa pandemi covid-19 yang belum usai.
Bahkan, di tempat-tempat kerumunan, seperti tempat kerja, setiap orang harus memegang prinsip, saling menjaga satu dengan yang lain. Seperti di tempat pekerjaan, dikembangkan program jogo kerjo, dan di pondok pesantren digalakkan jogo kyai dan jogo santri. Upaya ini pun dilakukan, tentunya untuk menekan penyebaran virus covid-19 yang lebih luas.
SEMARANG - Perasaan berkecamuk, sempat dialami Permana, warga Kendal, ketika dia dinyatakan positif covid-19 akhir Agustus lalu.
Tidak hanya dirinya, istri dan dua anaknya yang masih usia sekolah dasar, dinyatakan positif. Hanya si bungsu yang masih berusia 4 tahun, dinyatakan negatif.
Ia khawatir, keluarganya bakal mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Di sisi lain dia memaklumi, stigma negatif yang muncul karena masyarakat takut terpapar covid-19.
“Bagaimana keluarga saya kalau dikucilkan? Kebutuhan sehari-hari saya bagaimana karena keluarga harus isolasi mandiri selama tiga minggu. Si bungsu waktu itu saya ambil keputusan untuk ikut kakek neneknya dulu,” ujarnya
Namun, rasa khawatir itu ternyata tidak 100 persen terbukti. Dibandingkan dengan yang memberikan stigma negatif, masih cukup banyak yang peduli. Ada saja tetangga, saudara dan teman yang mengirimkan makanan atau kebutuhan lain ke rumahnya.
“Setelah sembuh malah sekarang kelebihan logistik,” ujarnya sambil tertawa.
Pengalaman yang sama juga dialami Handy, warga Kota Semarang. Begitu dirinya dinyatakan positif, orang tuanya memberikan informasi ke Ketua RT. Ketua RT pun meneruskan informasi ke warga.
Waktu itu pun, keluarganya merasakan kepedulian warga. Sehingga, dia yang berada di rumah sakit, tidak terlalu terpikir keadaan orang tuanya yang harus isolasi mandiri di rumah.
“Hampir setiap hari ada tetangga yang membawakan makanan ke rumah. Jadi saya di rumah sakit lebih ayem,” ujarnya.
Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen mengatakan, cerita itu menjadi gambaran pelaksanaan program Jogo Tonggo yang digagas Pemprov Jateng untuk menangani pandemi covid-19, terlaksana di masyarakat.
Bahkan, Jogo Tonggo mendapat apresiasi dari pemerintah pusat dengan diraihnya penghargaan Top 21 Innovation Award Penanganan Covid-19 melalui Kementerian PAN RB.
Jogo tonggo mendapat penghargaan karena memiliki nilai plus. Pemprov Jateng mampu mendayagunakan seluruh kemampuan yang ada secara bersinergi, di tingkat organisasi masyarakat yang terbawah. Mereka didorong untuk saling bergotongroyong, karena covid-19 berdampak domino.
Tidak hanya pada bidang kesehatan, tetapi juga di sektor ekonomi, seperti turunnya pendapatan masyarakat, dan munculnya pengangguran,
“Di jogo tonggo ini kita menghitung betul kekuatan kita. Di setiap desa, ada elemen PKH, pendamping desa, PKK, tenaga kesehatan dan sebagainya. Stakeholder ini kita gerakkan, kita padukan untuk penanganan di sector masing-masing,” jelasnya
Wagub yang biasa disapa Gus Yasin ini juga mengingatkan, agar masyarakat terus menguatkan program jogo tonggo karena masa pandemi covid-19 yang belum usai.
Bahkan, di tempat-tempat kerumunan, seperti tempat kerja, setiap orang harus memegang prinsip, saling menjaga satu dengan yang lain. Seperti di tempat pekerjaan, dikembangkan program jogo kerjo, dan di pondok pesantren digalakkan jogo kyai dan jogo santri. Upaya ini pun dilakukan, tentunya untuk menekan penyebaran virus covid-19 yang lebih luas.
Berita Terbaru