Follow Us :              

Dukung Program Cegah Radikalisme, Kesbangpol Jateng Gelar Nobar Film Dokumenter

  20 June 2022  |   09:00:00  |   dibaca : 969 
Kategori :
Bagikan :


Dukung Program Cegah Radikalisme, Kesbangpol Jateng Gelar Nobar Film Dokumenter

20 June 2022 | 09:00:00 | dibaca : 969
Kategori :
Bagikan :

Foto : istimewa (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : istimewa (Humas Jateng)

SOLO - Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah (Jateng ) menyampaikan bahwa tidak ada toleransi bagi kelompok radikal, karena jika dibiarkan paham radikal akan semakin membesar. Guna mencegah hal itu, ia akan bertindak tegas pada para tenaga pendidik jika ada indikasi menganut paham radikal. 

"Sebab kalau kita biarkan, mereka akan menggurita. Mari sama-sama waspada, mari sama-sama menjaga Indonesia," ujar Ganjar. 

Guna mendukung imbauan itu, Badan Kesbangpol Provinsi Jateng menggelar pemutaran film dokumenter berjudul "Seeking The Imam” karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Film ini mengisahkan korban-korban bujukan atas nama agama oleh kelompok ekstremis demi kepentingan kelompok mereka sendiri. 

Pemutaran ini ditonton para pelajar SMA dari berbagai sekolah di Solo dan dihadiri Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng, Uswatun Hasanah serta Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jateng, Haerudin.  Kegiatan bertema “Ekspresi Kaum Muda: Bangga Nusantara Tolak Radikalisme Terorisme” itu digelar dalam rangka Bulan Pancasila Tahun 2022 ini disenggarakan di SMA 1 Batik Solo, Senin 20 Juni 2022. 

Karakter utama dalam film itu, Dhania (24) bercerita di hadapan audiens. Dia berbagi pengalamannya “terjebak” media sosial, yang membuatnya sempat tergelincir masuk ke wilayah kelompok ISIS di Suriah pada 2015 hingga 2017. Dhania ketika itu baru berusia 16 tahun, masih duduk di kelas 2 SMA di Kepulauan Riau.  

Tidak puas dengan kehidupannya, termasuk kekecewaan pada keluarganya, membuat Dhania "lari" ke dunia maya. Lewat media ini Dhania yang kini aktif memberi literasi tentang bahaya penyebaran paham ajaran radikalisme, mulai berhubungan dengan kelompok radikal. 

Dhania banyak  mengikuti akun mereka, termasuk Tumblr yang isinya catatan harian para muhajirin di Suriah di antaranya; Diary of Muhajirah dan Al-Muhajirat. Semua akun itu menceritakan tentang cerita kehidupan di wilayah ISIS yang begitu indah dan menyenangkan. Seperti; pendidikan gratis, fasilitas kesehatan gratis, kehidupan yang adil. 

“Pokoknya, negeri yang diberkahi. Saya ketika itu langsung percaya,” lanjut Dhania tentang kesan pertamanya. 

Akhirnya, bersama keluarganya, termasuk beberapa saudara-saudaranya ke wilayah ISIS di Suriah. Ternyata, sesampainya di sana, yang didapati bertolak belakang dengan apa yang disebutkan di media-media sosial tadi. Mereka bersusah-payah kabur sampai kemudian dievakuasi oleh tim dari Pemerintah Indonesia pada Agustus 2017.  

“Jadi pesannya, ketika menemukan informasi apapun selalu teliti kembali dari sumber yang lain atau orang yang lebih paham,” tutup Dhania yang ketika itu hadir bersama kakaknya, Nailah. Dia kini aktif menulis berbagai artikel termasuk mengisi berbagai kegiatan untuk edukasi anak-anak muda agar tidak “tergelincir” sepertinya. 

Narasumber lain pada kegiatan itu, Joko Tri Harmanto alias Jack Harun, mantan narapidana terorisme (napiter). Jack menyebut, untuk membendung radikalisme dan terorisme semua komponen harus bergerak bersama. Pemerintahan, dunia pendidikan hingga masyarakat.  

“Menciduk (tangkap) orang-orangnya lebih mudah, tapi membendung pahamnya itu yang sulit. Kalau dikuatkan masyarakatnya, dari RT sampai kelurahan, maka masyarakatnya jadi cerdas. Dengan begitu paham-paham seperti itu akan tertolak dengan sendirinya,” kata Jack yang juga Ketua Yayasan Gema Salam sekaligus pengusaha warung Soto Bang Jack. 

“Sebenarnya (usaha) bukan untuk agama, tetapi menggunakan siasat agama,” kata Haerudin. Menurutnya, butuh peran dari instansi instansi terkait dan masyarakat dalam mengatasi hal ini. 

Sutradara film Seeking The Imam, Rahmat Triguna alias Mamato, mengungkapkan, film ini ia buat karena maraknya bujukan radikalisme di dunia maya. Dunia banyak digeluti anak-anak muda yang masih mencari jati diri yang masih mudah dipengaruhi. 

“Selain soal gadget, media sosial dan anak muda, tapi juga refleksi bagi saya sendiri sebagai seorang ayah,” kata Mamato.  Terkait film tersebut, Mamato menyebut perlu waktu hingga 2 tahun untuk menyelesaikan semuanya. 


Bagikan :

SOLO - Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah (Jateng ) menyampaikan bahwa tidak ada toleransi bagi kelompok radikal, karena jika dibiarkan paham radikal akan semakin membesar. Guna mencegah hal itu, ia akan bertindak tegas pada para tenaga pendidik jika ada indikasi menganut paham radikal. 

"Sebab kalau kita biarkan, mereka akan menggurita. Mari sama-sama waspada, mari sama-sama menjaga Indonesia," ujar Ganjar. 

Guna mendukung imbauan itu, Badan Kesbangpol Provinsi Jateng menggelar pemutaran film dokumenter berjudul "Seeking The Imam” karya Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP). Film ini mengisahkan korban-korban bujukan atas nama agama oleh kelompok ekstremis demi kepentingan kelompok mereka sendiri. 

Pemutaran ini ditonton para pelajar SMA dari berbagai sekolah di Solo dan dihadiri Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jateng, Uswatun Hasanah serta Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Jateng, Haerudin.  Kegiatan bertema “Ekspresi Kaum Muda: Bangga Nusantara Tolak Radikalisme Terorisme” itu digelar dalam rangka Bulan Pancasila Tahun 2022 ini disenggarakan di SMA 1 Batik Solo, Senin 20 Juni 2022. 

Karakter utama dalam film itu, Dhania (24) bercerita di hadapan audiens. Dia berbagi pengalamannya “terjebak” media sosial, yang membuatnya sempat tergelincir masuk ke wilayah kelompok ISIS di Suriah pada 2015 hingga 2017. Dhania ketika itu baru berusia 16 tahun, masih duduk di kelas 2 SMA di Kepulauan Riau.  

Tidak puas dengan kehidupannya, termasuk kekecewaan pada keluarganya, membuat Dhania "lari" ke dunia maya. Lewat media ini Dhania yang kini aktif memberi literasi tentang bahaya penyebaran paham ajaran radikalisme, mulai berhubungan dengan kelompok radikal. 

Dhania banyak  mengikuti akun mereka, termasuk Tumblr yang isinya catatan harian para muhajirin di Suriah di antaranya; Diary of Muhajirah dan Al-Muhajirat. Semua akun itu menceritakan tentang cerita kehidupan di wilayah ISIS yang begitu indah dan menyenangkan. Seperti; pendidikan gratis, fasilitas kesehatan gratis, kehidupan yang adil. 

“Pokoknya, negeri yang diberkahi. Saya ketika itu langsung percaya,” lanjut Dhania tentang kesan pertamanya. 

Akhirnya, bersama keluarganya, termasuk beberapa saudara-saudaranya ke wilayah ISIS di Suriah. Ternyata, sesampainya di sana, yang didapati bertolak belakang dengan apa yang disebutkan di media-media sosial tadi. Mereka bersusah-payah kabur sampai kemudian dievakuasi oleh tim dari Pemerintah Indonesia pada Agustus 2017.  

“Jadi pesannya, ketika menemukan informasi apapun selalu teliti kembali dari sumber yang lain atau orang yang lebih paham,” tutup Dhania yang ketika itu hadir bersama kakaknya, Nailah. Dia kini aktif menulis berbagai artikel termasuk mengisi berbagai kegiatan untuk edukasi anak-anak muda agar tidak “tergelincir” sepertinya. 

Narasumber lain pada kegiatan itu, Joko Tri Harmanto alias Jack Harun, mantan narapidana terorisme (napiter). Jack menyebut, untuk membendung radikalisme dan terorisme semua komponen harus bergerak bersama. Pemerintahan, dunia pendidikan hingga masyarakat.  

“Menciduk (tangkap) orang-orangnya lebih mudah, tapi membendung pahamnya itu yang sulit. Kalau dikuatkan masyarakatnya, dari RT sampai kelurahan, maka masyarakatnya jadi cerdas. Dengan begitu paham-paham seperti itu akan tertolak dengan sendirinya,” kata Jack yang juga Ketua Yayasan Gema Salam sekaligus pengusaha warung Soto Bang Jack. 

“Sebenarnya (usaha) bukan untuk agama, tetapi menggunakan siasat agama,” kata Haerudin. Menurutnya, butuh peran dari instansi instansi terkait dan masyarakat dalam mengatasi hal ini. 

Sutradara film Seeking The Imam, Rahmat Triguna alias Mamato, mengungkapkan, film ini ia buat karena maraknya bujukan radikalisme di dunia maya. Dunia banyak digeluti anak-anak muda yang masih mencari jati diri yang masih mudah dipengaruhi. 

“Selain soal gadget, media sosial dan anak muda, tapi juga refleksi bagi saya sendiri sebagai seorang ayah,” kata Mamato.  Terkait film tersebut, Mamato menyebut perlu waktu hingga 2 tahun untuk menyelesaikan semuanya. 


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu