Follow Us :              

Tanpa Membentak, Pesan Akan Mudah Diterima Anak

  08 April 2019  |   13:00:00  |   dibaca : 593 
Kategori :
Bagikan :


Tanpa Membentak, Pesan Akan Mudah Diterima Anak

08 April 2019 | 13:00:00 | dibaca : 593
Kategori :
Bagikan :

Foto : Vivi (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Vivi (Humas Jateng)

SEMARANG - Anak terkadang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT) dalam keluarga. Luapan emosi orang tua karena berbagai alasan kerap ditujukan kepada anak. Hal itulah yang membuat Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Siti Atikoh Ganjar Pranowo merasa prihatin.

"Terkadang ketika ada permasalahan internal, anak menjadi pelampiasan emosi. Ketika ada kekerasan terhadap anak dan itu berkasus hukum, maka kita masukkan ke rumah aman (shelter), yang boleh mengunjungi adalah kader pendamping keluarga (KPK) untuk menjaga privasi dan keamanan korban. Kalau sayang kepada anak, pesannya positif dengan senyum, tidak ada bentak-bentak sehingga pesannya lebih sampai ke anak," terangnya saat menghadiri Sarasehan Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga di SDN 01 Plumbon, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Senin (8/4/2019).

Atikoh mencontohkan, orang tua yang sebelumnya menghadapi persoalan tertentu, semakin merasa jengkel ketika sang anak yang dijumpai di rumah sedang tidak patuh. Hal tersebut dapat mendorong orang tua untuk meluapkan emosinya kepada anak, baik dengan ucapan kasar (verbal) maupun kekerasan fisik.

Kondisi serupa dialami pula oleh Parjiyo, guru SDN 01 Plumbon. Pria separuh baya itu membeberkan, anaknya yang saat ini duduk di kelas VIII seringkali malas belajar dan justru bermain HP. Hal itu membuat Parjiyo yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah di SDN 01 Plumbon terkadang merasa jengkel karena anaknya tidak patuh. Namun, Parjiyo berusaha tidak meluapkan rasa jengkelnya dengan KDRT. "Saya menghadapi kesulitan bagaimana agar anak saya semangat belajar, saya mohon solusinya," ujarnya.

Menanggapi pernyataan Parjiyo, Atikoh berpendapat, kepemilikan ponsel pintar di kalangan anak-anak memang kerap menjadi persoalan bagi orang tua karena putera-puterinya menjadi lupa waktu kemudian melalaikan kewajiban mereka dalam belajar. Di satu sisi, ponsel pintar menyediakan ilmu pengetahuan dan berita terkini. Namun di sisi lain, anak-anak juga dapat mengakses hiburan dan konten yang tak sesuai dengan mudah.

"Saya salut Bapak mendisiplinkan anak itu tanpa KDRT, tetapi itu memang godaan besar. Ketika PR banyak, anak justru main HP. Pastikan Bapak tahu aktivitas anak saat memegang HP," ujarnya.

Ibu satu putera itu menyarankan agar Parjiyo dan orang tua lainnya yang menghadapi persoalan serupa membuat peraturan tertentu agar anak disiplin. Misalnya, membatasi waktu anak untuk menggunakan ponsel pintarnya. Anak hanya boleh menggunakan setelah mereka melakukan kewajibannya dalam belajar dan ibadah. Penggunaan ponsel pintar pun hendaknya dengan pendampingan orang tua.

Istri orang nomor satu di Jateng itu menegaskan, KDRT tidak akan terjadi apabila ketahanan keluarga kuat. Artinya, orang tua dan anak saling menghargai.

"Kita kan harapannya berumah tangga itu sakinah, mawaddah, warrohmah. Maka harus ada kesadaran untuk saling menghargai sesama pasangan, bagaimana memberikan cinta kasih kepada anak. Kalau pondasinya kuat, persoalan apapun bisa didiskusikan," tegasnya.

 

Baca juga : Siti Atikoh: Kalau Gotong Royong Terjaga, Persoalan Masyarakat Mudah Ditangani


Bagikan :

SEMARANG - Anak terkadang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga  (KDRT) dalam keluarga. Luapan emosi orang tua karena berbagai alasan kerap ditujukan kepada anak. Hal itulah yang membuat Ketua TP PKK Provinsi Jawa Tengah Siti Atikoh Ganjar Pranowo merasa prihatin.

"Terkadang ketika ada permasalahan internal, anak menjadi pelampiasan emosi. Ketika ada kekerasan terhadap anak dan itu berkasus hukum, maka kita masukkan ke rumah aman (shelter), yang boleh mengunjungi adalah kader pendamping keluarga (KPK) untuk menjaga privasi dan keamanan korban. Kalau sayang kepada anak, pesannya positif dengan senyum, tidak ada bentak-bentak sehingga pesannya lebih sampai ke anak," terangnya saat menghadiri Sarasehan Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga di SDN 01 Plumbon, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Senin (8/4/2019).

Atikoh mencontohkan, orang tua yang sebelumnya menghadapi persoalan tertentu, semakin merasa jengkel ketika sang anak yang dijumpai di rumah sedang tidak patuh. Hal tersebut dapat mendorong orang tua untuk meluapkan emosinya kepada anak, baik dengan ucapan kasar (verbal) maupun kekerasan fisik.

Kondisi serupa dialami pula oleh Parjiyo, guru SDN 01 Plumbon. Pria separuh baya itu membeberkan, anaknya yang saat ini duduk di kelas VIII seringkali malas belajar dan justru bermain HP. Hal itu membuat Parjiyo yang pernah menjabat sebagai kepala sekolah di SDN 01 Plumbon terkadang merasa jengkel karena anaknya tidak patuh. Namun, Parjiyo berusaha tidak meluapkan rasa jengkelnya dengan KDRT. "Saya menghadapi kesulitan bagaimana agar anak saya semangat belajar, saya mohon solusinya," ujarnya.

Menanggapi pernyataan Parjiyo, Atikoh berpendapat, kepemilikan ponsel pintar di kalangan anak-anak memang kerap menjadi persoalan bagi orang tua karena putera-puterinya menjadi lupa waktu kemudian melalaikan kewajiban mereka dalam belajar. Di satu sisi, ponsel pintar menyediakan ilmu pengetahuan dan berita terkini. Namun di sisi lain, anak-anak juga dapat mengakses hiburan dan konten yang tak sesuai dengan mudah.

"Saya salut Bapak mendisiplinkan anak itu tanpa KDRT, tetapi itu memang godaan besar. Ketika PR banyak, anak justru main HP. Pastikan Bapak tahu aktivitas anak saat memegang HP," ujarnya.

Ibu satu putera itu menyarankan agar Parjiyo dan orang tua lainnya yang menghadapi persoalan serupa membuat peraturan tertentu agar anak disiplin. Misalnya, membatasi waktu anak untuk menggunakan ponsel pintarnya. Anak hanya boleh menggunakan setelah mereka melakukan kewajibannya dalam belajar dan ibadah. Penggunaan ponsel pintar pun hendaknya dengan pendampingan orang tua.

Istri orang nomor satu di Jateng itu menegaskan, KDRT tidak akan terjadi apabila ketahanan keluarga kuat. Artinya, orang tua dan anak saling menghargai.

"Kita kan harapannya berumah tangga itu sakinah, mawaddah, warrohmah. Maka harus ada kesadaran untuk saling menghargai sesama pasangan, bagaimana memberikan cinta kasih kepada anak. Kalau pondasinya kuat, persoalan apapun bisa didiskusikan," tegasnya.

 

Baca juga : Siti Atikoh: Kalau Gotong Royong Terjaga, Persoalan Masyarakat Mudah Ditangani


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu