Foto : Handy (Humas Jateng)
Foto : Handy (Humas Jateng)
SEMARANG – Inflasi Jawa Tengah dari Januari sampai Juli 2019 tercatat hanya 2,04%. Angka ini di bawah sasaran inflasi nasional yang ditetapkan menteri keuangan, sebesar 3,5% dengan deviasi ± 1. Capaian ini memiliki makna jika laju inflasi di Jawa Tengah lebih baik dari target yang ditetapkan pemerintah pusat.
Pada pertemuan High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Jateng di Kantor Bank Indonesia, Kamis (8/8/2019), Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Soekowardojo menyampaikan, inflasi Jateng masih akan berfluktuasi hingga akhir tahun nanti. Namun, dia memprediksi, inflasi Jateng masih akan tetap terjaga di bawah sasaran nasional.
“Masih ada lima bulan hingga akhir tahun nanti. Di akhir tahun ada perayaan Natal dan tahun baru, biasanya berada di angka 0,5 atau 0,6. Mudah-mudahan sekarang lebih moderat. Pada waktu lebaran kemarin, inflasinya Cuma 0,6. Akhir tahun kira-kira 0,5 dan sasaran 3,5 ± 1, jadi 4,5. Sampai angka 4,5 kita masih punya celengan 2,5. Lebih dari aman,” jelasnya.
Khusus Juli, sambungnya, laju inflasi Jateng sebesar 0,39 persen lebih rendah dari Juni yang tercatat 0,60 persen. Komoditas penyumbang inflasi terbesar adalah cabai, baik cabai merah, cabai rawit maupun cabai hijau. Ini tidak hanya dialami di Jateng, tetapi hampir seluruh provinsi di Indonesia. Sehingga, menjadi PR di tingkat nasional.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia Perwakilan Jawa Tengah, perkembangan harga cabai sepanjang 2019 hingga Juni, keluar dari polanya. Sebab, pada Februari, menjadi penyumbang deflasi. Sementara di Mei-Juni, cabai menyumbang inflasi.
“Waktu Februari, deflasinya dalam, tapi Mei-Juni menyumbang inflasi karena kenaikan harganya tinggi. Bahkan pada Juli kenaikannya hampir 30 persen. Sehingga cabai, khususnya cabai merah perlu perhatian khusus, apakah di produksinya ataukah di perdagangan antar daerahnya,” tuturnya.
Selain cabai, komoditas volatile food lain yang rentan menyumbang inflasi adalah beras, daging ayam, telor ayam, dan bawang merah. Meski saat ini trennya sudah menurun, yakni di bawah 5 persen, namun tetap harus diwaspadai.
Plh Gubernur Jawa Tengah Sri Puryono menyoroti, meski inflasi Juli lebih rendah dari Juni, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding inflasi di provinsi lain di Jawa. Di Jawa Timur, inflasinya bahkan hanya 0,11 persen.
“Kalau kita melihat, untuk inflasi di bulan Juli sebenarnya untuk wilayah Jawa dan Banten, mulai Jabar sampai Jatim, Jawa Tengah relatif tinggi di Juli. Sementara saya juga ingin tahu, inflasi Jatim kecil sekali. Dia punya ilmu apa. Kalau perlu belajar ke sana, ya belajar,” katanya.
Untuk memantau pergerakan inflasi, Sri Puryono juga meminta agar Sistem Informasi Harga Komoditi (SiHati) lebih diaktifkan lagi. Saat ini SiHati sudah memasuki generasi ketiga, maka generasi keempatnya harus didorong, sehingga bisa lebih efektif membantu pengendalian inflasi.
Terkait pertumbuhan ekonomi, mantan Kepala Dinas Kehutanan itu menyampaikan informasi menggembirakan. Sebab, pertumbuhan ekonomi Jateng saat ini berada di angka 5,62 dari sebelumnya yang tercatat 5,12.
“Pertumbuhan ekonomi kita sudah 5,62. Ini maknanya sudah ada greget. Dari 5,12 jadi 5,62. Kenaikannya luar biasa. Namun demikan, kita masih di bawah rata-rata provinsi di Pulau Jawa,” ucapnya.
Baca juga : Tiga Kali, Jateng Raih TPID Terbaik
SEMARANG – Inflasi Jawa Tengah dari Januari sampai Juli 2019 tercatat hanya 2,04%. Angka ini di bawah sasaran inflasi nasional yang ditetapkan menteri keuangan, sebesar 3,5% dengan deviasi ± 1. Capaian ini memiliki makna jika laju inflasi di Jawa Tengah lebih baik dari target yang ditetapkan pemerintah pusat.
Pada pertemuan High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Jateng di Kantor Bank Indonesia, Kamis (8/8/2019), Kepala Perwakilan Bank Indonesia Jawa Tengah Soekowardojo menyampaikan, inflasi Jateng masih akan berfluktuasi hingga akhir tahun nanti. Namun, dia memprediksi, inflasi Jateng masih akan tetap terjaga di bawah sasaran nasional.
“Masih ada lima bulan hingga akhir tahun nanti. Di akhir tahun ada perayaan Natal dan tahun baru, biasanya berada di angka 0,5 atau 0,6. Mudah-mudahan sekarang lebih moderat. Pada waktu lebaran kemarin, inflasinya Cuma 0,6. Akhir tahun kira-kira 0,5 dan sasaran 3,5 ± 1, jadi 4,5. Sampai angka 4,5 kita masih punya celengan 2,5. Lebih dari aman,” jelasnya.
Khusus Juli, sambungnya, laju inflasi Jateng sebesar 0,39 persen lebih rendah dari Juni yang tercatat 0,60 persen. Komoditas penyumbang inflasi terbesar adalah cabai, baik cabai merah, cabai rawit maupun cabai hijau. Ini tidak hanya dialami di Jateng, tetapi hampir seluruh provinsi di Indonesia. Sehingga, menjadi PR di tingkat nasional.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia Perwakilan Jawa Tengah, perkembangan harga cabai sepanjang 2019 hingga Juni, keluar dari polanya. Sebab, pada Februari, menjadi penyumbang deflasi. Sementara di Mei-Juni, cabai menyumbang inflasi.
“Waktu Februari, deflasinya dalam, tapi Mei-Juni menyumbang inflasi karena kenaikan harganya tinggi. Bahkan pada Juli kenaikannya hampir 30 persen. Sehingga cabai, khususnya cabai merah perlu perhatian khusus, apakah di produksinya ataukah di perdagangan antar daerahnya,” tuturnya.
Selain cabai, komoditas volatile food lain yang rentan menyumbang inflasi adalah beras, daging ayam, telor ayam, dan bawang merah. Meski saat ini trennya sudah menurun, yakni di bawah 5 persen, namun tetap harus diwaspadai.
Plh Gubernur Jawa Tengah Sri Puryono menyoroti, meski inflasi Juli lebih rendah dari Juni, angka tersebut masih lebih tinggi dibanding inflasi di provinsi lain di Jawa. Di Jawa Timur, inflasinya bahkan hanya 0,11 persen.
“Kalau kita melihat, untuk inflasi di bulan Juli sebenarnya untuk wilayah Jawa dan Banten, mulai Jabar sampai Jatim, Jawa Tengah relatif tinggi di Juli. Sementara saya juga ingin tahu, inflasi Jatim kecil sekali. Dia punya ilmu apa. Kalau perlu belajar ke sana, ya belajar,” katanya.
Untuk memantau pergerakan inflasi, Sri Puryono juga meminta agar Sistem Informasi Harga Komoditi (SiHati) lebih diaktifkan lagi. Saat ini SiHati sudah memasuki generasi ketiga, maka generasi keempatnya harus didorong, sehingga bisa lebih efektif membantu pengendalian inflasi.
Terkait pertumbuhan ekonomi, mantan Kepala Dinas Kehutanan itu menyampaikan informasi menggembirakan. Sebab, pertumbuhan ekonomi Jateng saat ini berada di angka 5,62 dari sebelumnya yang tercatat 5,12.
“Pertumbuhan ekonomi kita sudah 5,62. Ini maknanya sudah ada greget. Dari 5,12 jadi 5,62. Kenaikannya luar biasa. Namun demikan, kita masih di bawah rata-rata provinsi di Pulau Jawa,” ucapnya.
Baca juga : Tiga Kali, Jateng Raih TPID Terbaik
Berita Terbaru