Foto : Ebron (Humas Jateng)
KENDAL - Sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Kendal, tampil memukau di pagelaran ketoprak di Alun-alun Kendal, Minggu (16/12/2018) malam. Dengan mengambil tema tentang sifat kesatria dan perjuangan membela Bumi Pertiwi, perhelatan ketoprak mampu menggaet ratusan penonton.
Lantunan gamelan dan gendhing Jawa mengiringi suara merdu para pesinden, semakin memikat para penonton untuk menyaksikan alur cerita ketoprak hingga pengujung pagelaran. Bahkan tidak sedikit warga yang rela lesehan di atas rumput di sisi barat dan timur panggung untuk menyaksikan pagelaran seni budaya adiluhung tersebut.
Ketoprak mengangkat cerita tentang legenda di Kabupaten Kendal berjudul "Satria Amandito". Pagelaran yang berlangsung semarak ini mengisahkan perjuangan sejumlah tokoh pada zaman Kerajaan Mataram dalam upaya melawan penjajah Belanda.
Dalam perhelatan seni budaya tradisional berbahasa krama Jawa itu, Sekretaris Daerah Provinsi Jateng Sri Puryono KS MP tampil memerankan tokoh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, Wakil Bupati Masrur Masykur sebagai Jenderal Kompeni, sedangkan Sekda Kabupaten Kendal Moh Toha tampil menjadi Senopati Bahurekso.
Selain itu, turut tampil Kepala Dinas Peternakan Kesehatan Hewan Provinsi Jateng Agus Warianto sebagai Tumenggung Mandurejo, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi (Bapermasdesdukcapil) Jateng Sudharyanto sebagai Trenggono, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Bambang Supriono sebagai Tumenggung Suro Agul Agul, serta 20 camat dari berbagai kecamatan di Kendal.
Dalam adegan Sekda Jateng Sri Puryono tampil di atas panggung mengenakan busana kebesara raja Mataram berwarna merah lengkap dengan pernak-perniknya, meminta Bahurekso untuk memanggil kemudian mengutus Mandurejo memimpin pasukannya menyerbu benteng Batavia.
"Semua harus bergotong-royong mengusir Kompeni dari Bumi Jawa. Kompeni harus ditumpas," pinta Sultan Agung.
Namun, dalam perjuangan Tumenggung Mandurejo melawan penjajah, ada banyak intrik yang terjadi dan menyebabkan prajurit Mataram kocar-kacir, salah satunya karena pengkhianatan Tumenggung Suro Agul Agul yang berpihak kepada Kompeni karena ingin menjadi penguasa Mataram. Berbagai cara dilakukan Tumenggung Suro Agul Agul untuk menjegal Mandurorejo.
Sebelum menuju Batavia, Tumenggung Mandurorejo menyatakan bahwa jika pasukannya kalah, maka dirinya siap mati. Akan tetapi Pangeran Jumirah tidak tega membunuh Mandurorejo seperti yang diperintahkan Sultan Agung sesuai sabda pandita Mandurorejo.
Karena Pangeran Juminah tidak tega membunuh Mandurorejo yang sudah dianggapnya seperti saudara kandung sejak kecil dan sama-sama berguru serta menuntut ilmu, akhirnya Mandurorejo memilih melakukan bunuh diri menggunakan senjata milik Pangeran Jumirah di Kaliwungu, Kendal. Sedangkan Pangeran kemudian enggan kembali ke Mataram dan memilih menjadi resi atau pendeta sekaligus menjaga jasad Tumenggung Mandurorejo hingga akhir hayat.
Legenda kepahlawanan yang diangkat dari Bumi Jawa ini mengajarkan perjuangan luhur tokoh-tokoh nusantara dalam membela Bumi Pertiwi dari kekuasaan bangsa asing. Melalui kisah dalam kethoprak ini, diharapkan jiwa ksatria Pangeran Jumirah menjadi teladan, contoh, dan ditiru oleh semua masyatakat.
(Marni/Puji/Humas Jateng)
Baca juga : Damarwulan Wisudha, Kisah Tentang Kejujuran yang Menang Lawan Kelicikan
KENDAL - Sejumlah pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemkab Kendal, tampil memukau di pagelaran ketoprak di Alun-alun Kendal, Minggu (16/12/2018) malam. Dengan mengambil tema tentang sifat kesatria dan perjuangan membela Bumi Pertiwi, perhelatan ketoprak mampu menggaet ratusan penonton.
Lantunan gamelan dan gendhing Jawa mengiringi suara merdu para pesinden, semakin memikat para penonton untuk menyaksikan alur cerita ketoprak hingga pengujung pagelaran. Bahkan tidak sedikit warga yang rela lesehan di atas rumput di sisi barat dan timur panggung untuk menyaksikan pagelaran seni budaya adiluhung tersebut.
Ketoprak mengangkat cerita tentang legenda di Kabupaten Kendal berjudul "Satria Amandito". Pagelaran yang berlangsung semarak ini mengisahkan perjuangan sejumlah tokoh pada zaman Kerajaan Mataram dalam upaya melawan penjajah Belanda.
Dalam perhelatan seni budaya tradisional berbahasa krama Jawa itu, Sekretaris Daerah Provinsi Jateng Sri Puryono KS MP tampil memerankan tokoh Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo, Wakil Bupati Masrur Masykur sebagai Jenderal Kompeni, sedangkan Sekda Kabupaten Kendal Moh Toha tampil menjadi Senopati Bahurekso.
Selain itu, turut tampil Kepala Dinas Peternakan Kesehatan Hewan Provinsi Jateng Agus Warianto sebagai Tumenggung Mandurejo, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi (Bapermasdesdukcapil) Jateng Sudharyanto sebagai Trenggono, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jateng, Bambang Supriono sebagai Tumenggung Suro Agul Agul, serta 20 camat dari berbagai kecamatan di Kendal.
Dalam adegan Sekda Jateng Sri Puryono tampil di atas panggung mengenakan busana kebesara raja Mataram berwarna merah lengkap dengan pernak-perniknya, meminta Bahurekso untuk memanggil kemudian mengutus Mandurejo memimpin pasukannya menyerbu benteng Batavia.
"Semua harus bergotong-royong mengusir Kompeni dari Bumi Jawa. Kompeni harus ditumpas," pinta Sultan Agung.
Namun, dalam perjuangan Tumenggung Mandurejo melawan penjajah, ada banyak intrik yang terjadi dan menyebabkan prajurit Mataram kocar-kacir, salah satunya karena pengkhianatan Tumenggung Suro Agul Agul yang berpihak kepada Kompeni karena ingin menjadi penguasa Mataram. Berbagai cara dilakukan Tumenggung Suro Agul Agul untuk menjegal Mandurorejo.
Sebelum menuju Batavia, Tumenggung Mandurorejo menyatakan bahwa jika pasukannya kalah, maka dirinya siap mati. Akan tetapi Pangeran Jumirah tidak tega membunuh Mandurorejo seperti yang diperintahkan Sultan Agung sesuai sabda pandita Mandurorejo.
Karena Pangeran Juminah tidak tega membunuh Mandurorejo yang sudah dianggapnya seperti saudara kandung sejak kecil dan sama-sama berguru serta menuntut ilmu, akhirnya Mandurorejo memilih melakukan bunuh diri menggunakan senjata milik Pangeran Jumirah di Kaliwungu, Kendal. Sedangkan Pangeran kemudian enggan kembali ke Mataram dan memilih menjadi resi atau pendeta sekaligus menjaga jasad Tumenggung Mandurorejo hingga akhir hayat.
Legenda kepahlawanan yang diangkat dari Bumi Jawa ini mengajarkan perjuangan luhur tokoh-tokoh nusantara dalam membela Bumi Pertiwi dari kekuasaan bangsa asing. Melalui kisah dalam kethoprak ini, diharapkan jiwa ksatria Pangeran Jumirah menjadi teladan, contoh, dan ditiru oleh semua masyatakat.
(Marni/Puji/Humas Jateng)
Baca juga : Damarwulan Wisudha, Kisah Tentang Kejujuran yang Menang Lawan Kelicikan
Berita Terbaru