Follow Us :              

Berbincang Dengan Warga Tlogolele, Orang-orang Tangguh di Tengah Bencana

  31 May 2019  |   13:45:00  |   dibaca : 689 
Kategori :
Bagikan :


Berbincang Dengan Warga Tlogolele, Orang-orang Tangguh di Tengah Bencana

31 May 2019 | 13:45:00 | dibaca : 689
Kategori :
Bagikan :

Foto : Tim Humas (Humas Jateng)

Daftarkan diri anda terlebih dahulu

Foto : Tim Humas (Humas Jateng)

BOYOLALI - Masih terngiang di benak Sugito, 63, akan peristiwa yang terjadi pada 2010 silam. Di mana dia melihat dengan mata kepala sendiri, semburan lava pijar berwarna merah menyala turun dari puncak Gunung Merapi, tidak jauh dari rumahnya.

Dentuman gunung dan pijaran lava tersebut membuat dia bersama seluruh warga Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali panik. Maklum saja, Desa Tlogolele termasuk desa paling dekat dengan puncak Merapi, hanya berjarak sekitar 4 kilometer saja. "Saya masih ingat, saat itu saya sedang duduk di teras dan mendengar dentuman serta melihat semburan api dari puncak gunung," kenang Sugito.

Meski peristiwa mengerikan tersebut masih melekat kuat di ingatannya, namun Sugito dan ratusan warga lainnya tidak merasa trauma. Usai mengungsi dan Merapi kembali membaik, dia bersama warga desa lainnya pulang ke rumahnya masing-masing tanpa rasa takut. "Ya pulang lagi wong di sini rumah dan mata pencaharian kami sehari-hari," tuturnya.

Ditanya apakah tidak memiliki rasa takut, Sugito mengaku sebenarnya ada rasa takut juga. Namun karena sudah puluhan tahun tinggal, bahkan kakek buyutnya juga tinggal di desa itu, rasa takut akan bencana berangsur menghilang. "Sudah tidak ada rasa takut lagi, sudah terbiasa dan bersahabat dengan bencana," terangnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Sunardi, 64, warga Tlogolele lainnya. Dia mengatakan, Desa Tlogolele bukanlah desa tertinggi di Merapi, melainkan masih ada desa-desa lain yang lebih dekat dengan puncak. "Ada Desa Tabelan, Takeran, Gumuk Belang, Tlogomulyo, Karang dan desa lain yang lebih dekat. Mereka juga tetap tenang tinggal di desanya, kenapa kami harus takut," ucapnya.

Tidak takut bukan berarti tidak waspada. Warga Tlogolele, lanjut Sunardi, sudah sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang digelar Tagana dan BPBD serta instansi lainnya. "Kami sering diberi pelatihan bagaimana menyelamatkan diri kalau terjadi bencana. Selain itu, kami juga selalu diajari peka terhadap bencana," terangnya.

Disinggung apakah masih ada kearifan lokal yang dipercaya oleh masyarakat desa untuk mengantisipasi datangnya bencana, Sunardi mengatakan sudah tidak ada. "Kalau dahulu zaman bapak saya, kalau Merapi mau meletus, banyak hewan yang turun gunung. Sekarang sudah tidak ada lagi. Namun yang masih dipercaya dan menjadi tanda gunung Merapi akan meletus sampai sekarang adalah udara panas. Seperti 2010 lalu, udara terasa sangat panas sebelum Merapi meletus," paparnya.

Sementara itu, salah satu anggota Tagana Boyolali dari Desa Tlogolele, Darno mengatakan, masyarakat di desa itu memang sudah terbiasa hidup dengan bencana. Mereka juga sudah mengerti apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

"Kami selalu memberikan pelatihan-pelatihan kepada warga untuk sadar akan bencana dan mengerti cara evakuasi. Jadi sekarang masyarakat sudah kompak, kalau ada tanda-tanda bencana, mereka sudah langsung menyelamatkan diri," ucapnya.

Sementara itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat meresmikan pembangunan MCK untuk tempat pengungsian di Desa Tlogolele mengatakan, masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana seperti lereng Merapi ini memang harus terbiasa berdamai dengan bencana.

"Kita ini hidup di kawasan rawan bencana, jadi memang mau tidak mau harus bersahabat dengan bencana. Maka dari itu, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harus memiliki kesadaran serta kemampuan menghadapi segala bencana," paparnya.

 

Baca juga : Mitigasi Bencana, Ganjar: Warga Harus Pelajari Pengendalian Panik


Bagikan :

BOYOLALI - Masih terngiang di benak Sugito, 63, akan peristiwa yang terjadi pada 2010 silam. Di mana dia melihat dengan mata kepala sendiri, semburan lava pijar berwarna merah menyala turun dari puncak Gunung Merapi, tidak jauh dari rumahnya.

Dentuman gunung dan pijaran lava tersebut membuat dia bersama seluruh warga Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali panik. Maklum saja, Desa Tlogolele termasuk desa paling dekat dengan puncak Merapi, hanya berjarak sekitar 4 kilometer saja. "Saya masih ingat, saat itu saya sedang duduk di teras dan mendengar dentuman serta melihat semburan api dari puncak gunung," kenang Sugito.

Meski peristiwa mengerikan tersebut masih melekat kuat di ingatannya, namun Sugito dan ratusan warga lainnya tidak merasa trauma. Usai mengungsi dan Merapi kembali membaik, dia bersama warga desa lainnya pulang ke rumahnya masing-masing tanpa rasa takut. "Ya pulang lagi wong di sini rumah dan mata pencaharian kami sehari-hari," tuturnya.

Ditanya apakah tidak memiliki rasa takut, Sugito mengaku sebenarnya ada rasa takut juga. Namun karena sudah puluhan tahun tinggal, bahkan kakek buyutnya juga tinggal di desa itu, rasa takut akan bencana berangsur menghilang. "Sudah tidak ada rasa takut lagi, sudah terbiasa dan bersahabat dengan bencana," terangnya.

Hal senada juga disampaikan oleh Sunardi, 64, warga Tlogolele lainnya. Dia mengatakan, Desa Tlogolele bukanlah desa tertinggi di Merapi, melainkan masih ada desa-desa lain yang lebih dekat dengan puncak. "Ada Desa Tabelan, Takeran, Gumuk Belang, Tlogomulyo, Karang dan desa lain yang lebih dekat. Mereka juga tetap tenang tinggal di desanya, kenapa kami harus takut," ucapnya.

Tidak takut bukan berarti tidak waspada. Warga Tlogolele, lanjut Sunardi, sudah sering mengikuti pelatihan-pelatihan yang digelar Tagana dan BPBD serta instansi lainnya. "Kami sering diberi pelatihan bagaimana menyelamatkan diri kalau terjadi bencana. Selain itu, kami juga selalu diajari peka terhadap bencana," terangnya.

Disinggung apakah masih ada kearifan lokal yang dipercaya oleh masyarakat desa untuk mengantisipasi datangnya bencana, Sunardi mengatakan sudah tidak ada. "Kalau dahulu zaman bapak saya, kalau Merapi mau meletus, banyak hewan yang turun gunung. Sekarang sudah tidak ada lagi. Namun yang masih dipercaya dan menjadi tanda gunung Merapi akan meletus sampai sekarang adalah udara panas. Seperti 2010 lalu, udara terasa sangat panas sebelum Merapi meletus," paparnya.

Sementara itu, salah satu anggota Tagana Boyolali dari Desa Tlogolele, Darno mengatakan, masyarakat di desa itu memang sudah terbiasa hidup dengan bencana. Mereka juga sudah mengerti apa yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

"Kami selalu memberikan pelatihan-pelatihan kepada warga untuk sadar akan bencana dan mengerti cara evakuasi. Jadi sekarang masyarakat sudah kompak, kalau ada tanda-tanda bencana, mereka sudah langsung menyelamatkan diri," ucapnya.

Sementara itu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo saat meresmikan pembangunan MCK untuk tempat pengungsian di Desa Tlogolele mengatakan, masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana seperti lereng Merapi ini memang harus terbiasa berdamai dengan bencana.

"Kita ini hidup di kawasan rawan bencana, jadi memang mau tidak mau harus bersahabat dengan bencana. Maka dari itu, masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana harus memiliki kesadaran serta kemampuan menghadapi segala bencana," paparnya.

 

Baca juga : Mitigasi Bencana, Ganjar: Warga Harus Pelajari Pengendalian Panik


Bagikan :
Daftarkan diri anda terlebih dahulu